Bu Agis

144 14 2
                                    

Ale serius dengan kalimatnya, ia benar datang pagi ini. Mingggu pagi ditemani anila yang turut berhembus. Dilihatnya gadis itu sedang membagikan bungkus makanan ke anak-anak. Termasuk Roja di antaranya. Padahal Ale tau, gadis itu sendiri belum makan.

"Pagi Nur" sapa Ale.

Nuri sedikit kaget "Eh sudah datang?" Ale mengangguk. Tersenyum cerah. 

Ale mendekat pada anak laki-laki kecil bertubuh kurus yang sedari tadi melirik takut padanya. Ale merogoh kantong belakang celananya dan kali ini ia berterimakasih pada adiknya yang usil. Adiknya itu sering sekali memasukkan gula-gula atau coklat di kantong pakaiannya. Hanya karena ingin mengerjai abangnya yang tak suka makanan manis. Dan terkadang gula-gula atau coklat itu ikut tercuci, terlepas dari bungkusnya dan mengotori pakaian. Tapi kali ini terimakasih untuk Anya yang usil. Ale jadi punya bahan untuk mendekat pada anak laki-laki kecil tadi. 

"Kamu mau permen Roja?" tanya Ale berusaha mendekat. Anak laki-laki bernama Roja itu mendelik takut. "Anggap saja kejadian yang lalu tidak pernah terjadi. Asalkan jangan diulangi lagi. Ambil permennya" setelah Ale berkata begitu, Roja pelan-pelan mendekat, mengambil permen dari tangan Ale. "Maaf-" belum selesai kalimat anak itu, Ale menyela "Sudah, sekarang kita teman kan." Roja tersenyum sumringah. Tapi masalah untuk Ale, ia tidak tau jika memberi salah satu dari mereka itu berarti ia harus memberi pada semua. Anak-anak itu melihat pada Ale. Menanti diberi permen yang sama. "Eh " Ale bingung, menatap pada Nuri. Sedang gadis itu malah menikmati ekspresi bingung dari pemuda itu. "Harus adil Al" katanya.

Itu hanya bercanda. Nuri yang menanganinya. Memberi pengertian pada anak-anak itu. Permennya lain kali diberi lebih banyak. Kata gadis itu. 

Nuri mengangkati kardus dan barang bekas lain ke atas gerobak. Akan dibawa ke pengepul. Sudah banyak juga yang terkumpul minggu ini. "Gerobak dari mana?" tanya Ale. Ale tidak tau jika Nuri punya gerobak seperti ini. Minggu-minggu sebelumnya Ale hanya tau jika gadis itu membawa barang-barang bekas ini dengan memikulnya dengan keranjang di punggung. Bolak-balik dari rumahnya ke tempat pengepul. Melihatnya saja Ale capek, apalagi Nuri.

"Pinjam dari bu Agis, sedang tidak dipakai hari ini" jawab Nuri. Bu Agis adalah tetangga Nuri. Yah salah satu penghuni kolong jembatan juga. Ale meringis, belum terbiasa dengan nama bu Agis. Pernah suatu kali ia diajak Nuri menemui bu Agis. Dan Ale tak pernah menyangkanya kalau bu Agis ternyata waria. Dan lagi Nuri bilang banyak juga waria yang tinggal di lingkungan ini. 

Nuri menyikut lengan Ale. "Jangan begitu, mereka baik kok. Punya hak apa Al, kamu menghakimi pilihan mereka." Ale terdiam, benar juga. "Hanya orang yang punya ruang empati di hatinya yang bisa menerima pilihan mereka. Tapi sebisa mungkin jadikan dirimu salah satu di antaranya Al. Bukankah kau lihat sendiri mereka sama saja seperti kita, manusia."

"Apalagi bu Agis, seorang waria yang jelas-jelas mendapat pandangan buruk dari orang lain tetapi ia berani memungut bayi terlantar di tempat sampah dan merawatnya dengan tulus."

"Iya Nur iya. Aku tidak berpikir seburuk itu kok. Kau saja yang bersuudzon padaku" Ale mendengus. Kenyang diceramahi panjang lebar. Sedang Nuri menertawai wajah cemberut itu.

"Yasudah aku pergi sendiri saja ke pengepul. Kau main sana ke rumahnya bu Agis."

Ale langsung melotot kaget "Hah ngapain?!"

Nuri berdecak "Tuh kan, lihat tuh ekspresimu seolah mereka orang yang jahat."

Yah bagaimana ya Nur. Soalnya mindset yang tertanam soal waria selalu begitu sih. Batin Ale.

"Siapa tau setelah mengobrol denganmu bu Agis kembali lurus. Kau kan tampan" 

"Ha! apa?"

"Kau tampan, siapa tau bu Agis juga mau jadi tampan. Siapa tau sudah bosan jadi cantik" entah karangan teori dari mana.

"Ngawur kamu Nur"

Tuhan Sayang KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang