Tujuh menit Ale berdiri di atas peron. Bersandingkan satu tas hitam tenteng yang ia letakkan sementara di lantai. Ale terlihat gusar, menatap layar handphonenya yang menunjukkan pukul 18.45. Hari sudah melewati senja, jingga di kaki langit tak tampak lagi tertelan gelapnya malam. Handphone di genggaman tangannya bergetar. Cepat-cepat ia menekan gambar gagang telpon yang bewarna hijau ke atas.
"iya ma, sebentar ini masih di stasiun"
"........"
"iya, nanti kalau sudah sampai, aku beri kabar"
Setelah menutup telepon dari sang mama, ada pengumuman dari pengeras suara yang mengabarkan kereta tujuannya hampir berangkat. Ale mengangkat tas hitamnya, memasukkan terlebih dahulu handphonenya ke saku jaket. Dan bersiap untuk memasuki gerbong kereta. Memilih tempat duduk didekat jendela, adalah pilihan yang bagus. Karena sudah malam dan hanya gelap yang menjadi penampakan di luar jendela, Ale merebahkan kepalanya di kepala kursi. Berusaha memejamkan matanya. Suara desing kereta yang seolah jadi musik pengantar tidur, dan sedikit hembusan angin malam yang menerpa wajahnya membuat kelopak mata itu hampir terpejam. Tapi suara gaduh dari sisi sebelah mengusik matanya, dia menoleh ke samping, menguraikan tangannya yang tadinya bersedekap. Sedikit memanjangkan leher untuk melongok.
Barang-barang berserakan, pulpen, beberapa koran yang kertasnya menguning, terlihat sudah sangat usang. Juga seorang gadis yang panik memunguti barang-barang tersebut. Setelah semua barang yang tadinya terserak masuk ke dalam tas birunya, gadis itu berdiri. Membungkuk-bungkuk ke penumpang lainnya yang dari tadi mengamati, termasuk ke arah Ale. Mengucap kata maaf berulang karena membuat suara gaduh. Gadis dengan rambut dibelah tengah yang dikepang. Memakai baju terusan bewarna biru laut yang terlihat lusuh. Ale tetap mengamatinya, gadis itu berjalan dengan kaki kiri yang pincang. Terlihat baret dipergelangan kakinya yang berdarah. Gadis rambut kepang itu duduk di kursi depan Ale. Dari celah antara kursi dan dinding gerbong dapat Ale lihat mata gadis itu yang menatap kosong ke luar jendela. Menatap gelap di luar, gadis itu beberapa kali menggerakkan tangan mengusap matanya. Entah kelilipan, entah benar-benar menangis.
Ale menyenderkan kepalanya di kursi kereta, kembali bersedekap tangan di dada, ikut-ikutan menatap keluar jendela. Malam ini entah mengapa hatinya resah,memikirkan ada yang menggunjingnya diam-diam adalah mitos, jadi tidak usah percaya. Malam ini, ia dalam perjalanannya menuju kota seribu seniman. Hatinya yang gelisah tanpa sebab dengan mata yang memejam menghayati semilir angin yang berhembus. Dia sedang berhalusinasi atau bukan yang pasti telinganya mendengar isakan yang sangat pelan. Dan itu berasal dari gadis di depannya.
Beberapa jam berlalu, kereta api bewarna putih bercorak dua garis biru itu berhenti di stasiun tujuan. Sesudah memastikan barangnya tak ada yang tertinggal, Ale berdiri berniat keluar. Tapi netranya tak sengaja menatap gadis yang duduk di depannya tadi. Gadis itu masih diam berdiri. Kalau tidak salah tafsir, gadis itu menunggu untuk keluar gerbong setelah semua orang keluar, menunggu jadi orang terakhir yang keluar. Dan kalau tidak salah mengira itu karena ia tak mau membuat susah orang-orang, sadar diri jika geraknya lambat. Dengan kaki pincang gadis itu tau jika nantinya akan menghambat pergerakan orang di belakangnya. Mungkin menjadi salah satu sebab gadis itu masih diam berdiri dan memilih keluar terakhir. Tapi itu tidak terjadi, Ale, pemuda berjaket navy itu entah kenapa ikut menunggu. Ia yang keluar terakhir. Berjalan di belakang gadis rambut kepang. Mengamati gadis itu dari belakang.
Ale melihat mamanya di seberang sana dengan seorang anak perempuan yang tidak lain adalah adiknya, sedang melambai-lambaikan tangan ke atas. Ale bergegas menghampiri keduanya. Ale menyalimi mamanya lalu mengusak rambut adiknya sampai berantakan. "perjalanannya lancar kan Al" tanya mamanya.
Ale mengangguk. Ia lalu menatap pada adiknya yang sedang manyun. "katanya kemaren sampai, kenapa baru sekarang sampainya" dumel adik Ale. Mama Ale bercerita jika adiknya menunggu dari kemarin, sudah bersiap mengenakan baju bagus, eh ternyata datangnya hari ini.
"Abang masih banyak tugas sekolah Anya," Adik Ale yang baru menginjak umur 12 tahun itu manggut-manggut sok paham. Bukan sedang musim liburan, tapi adik Ale yang masih sekolah dasar itu keukeh ingin bersama Mamanya, jadilah ia izin cuti seminggu dari sekolah. Ale yang baru memasuki SMA sedang banyak-banyaknya tugas sehingga tidak bisa cuti. Ini hari sabtu dan Ale akan menginap semalam lalu membawa adiknya pulang. Sedang Mamanya tidak jadi pulang karena ada urusan yang tak bisa ditinggal. Adik Ale, yang diketahui bernama panggilan Anya itu menggenggam tangan abangnya, mengajak untuk segera pergi dari stasiun.
Berjalan bersisian dengan mama dan sedang digandeng adiknya, Ale masih sempat menoleh ke belakang. Di atas peron, dibawah tulisan-tulisan menggantung jalur-jalur kereta. Ale melihat gadis itu, dengan baju terusan biru laut dan tas biru pudar. Berjalan ke arah berlawanan dengannya, lurus hingga gadis itu berbelok dan tak lagi tampak punggungnya di penglihatan Ale.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuhan Sayang Kamu
Teen FictionKisah yang kali ini akan bergulir memang sebatas kisah klise dengan dia yang menjadi sebab adanya kisah klasik ini. Dia yang menjadi alasan adanya pertanggung jawaban semesta atas candaannya yang tidak biasa. Sebelumnya terima kasih atas kehadiranny...