[20] Film dari Dunia Tanpa Suara

915 252 110
                                    


Jika Ladin pernah bertanya apakah memiliki anggota tubuh yang lengkap adalah sebuah privilege, ia sadar bahwa jawaban dari pertanyaan itu adalah 'iya'

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jika Ladin pernah bertanya apakah memiliki anggota tubuh yang lengkap adalah sebuah privilege, ia sadar bahwa jawaban dari pertanyaan itu adalah 'iya'.

Kala membawanya pada rumah kecil yang terletak di Semarang Bawah, tidak terlalu jauh dari sekolah inklusi yang mereka datangi tadi. Panas Semarang sempat diabaikan Ladin begitu melihat warung kecil dengan terpal usang sebagai atap, juga seorang laki-laki di kursi roda tengah makan bersama wanita paruh baya di sampingnya. Tidak ada yang menarik dari pemandangan itu, kecuali titik di mana Ladin menyadari bahwa laki-laki itu tidak memiliki anggota tubuh yang lengkap.

Degup jantungnya lantas berdetak cepat. Ia menatap lekas sayatan di tangannya sejenak, membandingkan pada kondisi laki-laki itu, lalu meringis dalam hati.

Ini ... memalukan.

Kakinya terpaku untuk mengikuti langkah Kala mendekat pada warung kecil itu. Ia terlampau malu untuk menampakkan dirinya yang dipenuhi luka karena sengaja, sementara ada seseorang di depannya tengah bertahan hidup di atas kursi roda.

"Assalamu'alaikum, Bunda." Kala masuk ke dalam warung, menyalami wanita paruh baya yang memakai alas sendal tipis itu. Selepas itu, ia sedikit menyejajarkan tingginya dengan laki-laki yang duduk di kursi roda, dan tangannya bergerak dengan bahasa isyarat untuk menyapa.

Kesadaran Ladin ditarik saat Kala memanggilnya untuk mendekat. Ia bahkan tidak dapat memproses informasi bahwa saat ini, kakak tingkatnya itu sedang membawanya menemui keluarga Kala. Bola matanya memperhatikan laki-laki di kursi roda itu, ikut menahan nyeri saat melihat lutut kanannya diperban.

Di detik itu, Ladin mendadak merasa bahwa ia merupakan manusia yang paling tidak tahu rasanya bersyukur. Ia menarik lengan bajunya agar sayatan di lengannya tertutupi sempurna.

Senyum laki-laki itu semakin menggetarkan degup jantungnya. Sebab dengan segala kekurangan yang dimilikinya, cerah dari senyum itu dapat Ladin rasakan energi positifnya.

"Ini Ladin, adik tingkat Kala." Kala menunjuk Ladin dengan ibu jarinya, mengenalkan perempuan berambut pendek itu kepada Bunda.

Wanita paruh baya itu menyambut Ladin dengan kurva melengkung di bibirnya. "Halo, Nak Ladin," sapanya hangat. "Kasih minum, Dek, temennya," lanjut Bunda Kala.

Ladin tersenyum canggung. Bahkan saat Kala berbicara dengan bahasa tubuh kepada laki-laki yang duduk di kursi roda, saat kakak tingkatnya itu mengajak Ladin masuk ke ruang tamu, juga meninggalkannya dengan laki-laki yang tadi didorong Kala kursi rodanya, ia masih tidak tahu harus melakukan apa. Ruang tamu ini kecil, diisi TV dengan beberapa foto keluarga Kala yang menggantung di dinding. Melihatnya saja, Ladin bisa merasakan kehangatan seperti apa yang terjalin dari rumah ini.

Rumah Kala mengingatkan Ladin pada rumahnya; bangunan kecil yang tua. Beberapa dinding di rumah Kala terdapat coretan krayon, persis seperti dinding di sudut kamarnya karena Ladin senang mencoret dinding saat kecil. Atap-atap rumah Kala tersusun renggang. Ia bahkan melihat satu ember terletak di tengah ruangan, berisi air yang mungkin digunakan untuk menampung hujan karena atap bocor. Cat tembok kusam, juga perabotan yang usang. Segalanya yang ada di rumah ini mengingatkan Ladin pada rumahnya.

Fase dalam Lingkaran [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang