Musim panas belum berakhir. Di atas angkasa biru yang bersih tanpa gumpalan awan, mentari siang memancarkan sinar terkuatnya. Segerombol anak menghindari terik dengan memasuki hutan. Mereka membentuk formasi lingkaran, berlari kecil mengelilingi seorang anak seraya bersenandung.
"Siti Aisyah, mandi di kali, rambutnya basah, berkali-kali . . . "
Mereka tengah bermain petak umpet. Setelah menyelesaikan lagu, mereka berhenti, lalu serentak mundur. Setiap satu langkah diselingi oleh hitungan dari anak yang dikelilingi tadi, yang berperan sebagai tukang jaga. Sementara anak-anak yang lain akan membalas dengan kata berakhiran sama.
"Satu!", seru si tukang jaga.
"Sepatu!", jawab yang lain ramai.
Menjelang akhir hitungan, semakin nyaring cekikikan mereka keluar. Permainan makin mendebarkan.
"Sebelas!"
"Naik kelas!"
"Dua belas!"
"Kejar akuuuu!"
Layaknya kadal yang bertemu manusia, anak-anak itu berlari gesit menjauhi si tukang jaga. Diantara mereka ada Rega. Bocah berusia sepuluh tahun itu mungkin yang paling kecil dari semua pemain, namun ketangkasannya mampu membuatnya cepat menyembunyikan diri. Ia melesat melewati barisan pepohonan. Begitu jauh hingga sayup-sayup keriuhan anak-anak lain tak lagi terdengar.
Ketika ia menyadari betapa jauh dirinya, Rega menemukan sebuah rumah semipermanen. Pintu rumah tersebut dibiarkan terbuka—selayaknya rumah di desa ini yang terbiasa membiarkan tamu masuk sendiri. Rega memandanginya sejenak, memanggap rumah tersebut peluang bagus untuk bersembunyi. Toh, kenal atau tidak, menyelinap ke rumah orang bukanlah dosa besar untuk anak kecil. Paling-paling Rega diomeli sedikit.
"Permisi . . . ", Rega sopan memberi salam. Derit daun pintu seakan menyambutnya. Desain yang minimalis membuat rumah tersebut tak punya celah yang memadai untuk mempersilakan cahaya masuk. Dalam temaram Rega berkeliling. Tampak kursi-kursi ruang tamu tergeletak sembarangan. Di ruangan lain lebih parah lagi, berbagai barang berserakan begitu saja. Rega bergidik, merasa aneh. Tak ada seorangpun di sini, padahal rumahnya terlihat normal dari luar. Apa yang terjadi?
Insting Rega mengirim sinyal ketakutan, namun kalah oleh rasa ingin tahunya. Rega menemukan cahaya luar melalui kisi pintu belakang. Rega menghampiri pintu tersebut sembari memupuk pikiran positif. Mungkin saja si pemilik rumah sedang pergi ke ladang, kan?
"Jangan buka pintu itu!"
Sebuah tarikan yang kuat memaksa Rega untuk menjauh dari bingkai pintu belakang. Rega terjengkang mundur. Matanya menangkap sosok yang menariknya barusan. Seorang bocah yang tampak sepantaran Rega.
"Apa-apaan kam—", Rega berseru, namun segera ditahan oleh bocah tadi. Anak laki-laki itu menggeleng gugup, "Jangan berisik, kumohon. Pintu itu dikunci, jadi jangan membuat suara dengan mencoba membukanya. Dia bisa mendengarmu."
Setelah memastikan Rega lebih tenang, barulah anak itu melepaskan bekapan tangannya. "Siapa maksudmu?", bisik Rega bertanya.
Anak itu menatap sekitar dengan pandangan menyelidik. Suaranya yang lemah bergetar. "H-hantu. Ada hantu di rumahku."
Hantu? Alis Rega bertaut, heran. Setahunya, hantu hanya muncul pas tengah hari atau tengah malam. Dan bagaimana mungkin anak itu bisa takut kepada rumahnya sendiri?
"Hantu itu menculik ibuku."
Rega masih menatap bingung.
"Sudah kuduga kamu tidak percaya", anak itu kecewa dengan ekspresi Rega. "Reaksimu sama persis dengan Ayah. Sudah berapa kali aku mengadukan sikap aneh ibu, ia tetap tak percaya. Setiap kali Ayah pergi meninggalkan kami berdua, ibu selalu mengajakku bermain petak umpet. Awalnya aku menikmatinya, namun ibu mulai menjadi aneh. Jika aku yang jaga, ia akan bersembunyi di tempat-tempat asing seperti dalam bak mandi atau langit-langit. Sebaliknya, ketika ia yang jaga, ia akan mengacaukan seisi rumah untuk menemukanku. Seperti hari ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Baur
Short StoryKumpulan cerpen yang genrenya tidak menentu. Bisa jadi drama, bisa jadi horor. Cover hanya pemanis, tidak selalu merepresentasikan isi. Story & cover by Dreki-kun