"Ibu! Kaukah itu?"
Sunyi, hanya cicitan tikus dari luar kamar yang menjawab. Ah, lagi-lagi aku salah. Kupikir tidak mungkin makhluk mungil berbulu itu menciptakan suara ketukan yang keras. Ataukah telingaku ini sudah terlalu sensitif?
Bulan bercahaya terang melalui lubang di langit-langit kamarku yang gelap. Aku menengadah, mengira-ngira sudah pukul berapa sekarang. Jangankan jam, aku bahkan tak ingat lagi sudah hari yang keberapa aku berada dalam kamar yang sempit tanpa jendela ini.
Ibu akan kembali lagi, begitulah pesan terakhir Ibu sebelum meninggalkanku di dalam ruangan yang terkunci ini. Kalimat yang selalu kupegang teguh di tengah pengapnya kesendirian. Ibu bukanlah pembohong, jadi ia pasti akan kembali, kan? Aku yakin itu.
Mungkin.
Kuharap.
Aku termenung menatap cahaya bulan. Pikiranku dipenuhi oleh bayangan tentang kebebasan yang telah lama tidak kucicipi, juga Ibu yang tak kunjung kujumpai sosoknya. Mendadak tembok ketabahan hatiku runtuh saat itu juga, membebaskan deraian air mata yang berlinang membasahi wajah.
***
Sejak malam itu ada sosok lain yang kunantikan selain Ibu. Peri Bulan, begitulah masyarakat menyebutnya. Menurut mitos yang beredar di desa, Peri Bulan adalah makhluk ajaib dengan beragam sihir yang menakjubkan. Ia dikenal suka menolong orang di malam ketika bulan bersinar.
Kau boleh menyebutku kekanakan, kuakui itu. Namun hanya itu harapan yang kupunya sekarang, kala kesendirian membuatku perlahan kehilangan akal sehat. Aku mulai sering melawak dan tertawa sendiri, bermain dengan rayap dan kecoak serta membayangkan derap kaki tikus sebagai langkah kaki Ibu. Pada malamnya aku kerap berkeluh kesah kepada rembulan, berharap Peri Bulan sedang mendengarkan dan membalas melalui bisikan lembutnya.
"Aku akan menolongmu, Lail . . . "
Eh? Aku mengorek kuping. Barusan itu suara orang? Tidak mungkin. Apakah itu hantu? Atau diriku mengalami delusi? Gila?
"Ini aku, Peri Bulan," suara itu memperkenalkan diri, membuatku terkejut.
"Aku ada di luar. Kemarilah."
"Peri Bulan? Ba-bagaimana caranya? Aku terkurung di dalam," jawabku kaget.
"Tak usah cemas. Pejamkan saja matamu lalu berjalanlah ke dinding yang menghadap keluar seraya membayangkan dirimu tembus pandang."
Suara itu memberikan saran yang tidak masuk akal. Namun mengingat ia menyebut dirinya Peri Bulan serta hasratku untuk keluar membuatku mengesampingkan logika sejenak. Aku memejamkan mata, berjalan perlahan ke dinding dengan kedua tangan terentang ke depan—jaga-jaga kalau ia berbohong hanya agar aku membentur tembok.
Aku tak dapat meraba apapun dari tanganku hingga sekelebat cahaya samar terlihat dari balik kelopak mataku. Aku perlahan membuka mata.
Hutan belantara yang dinaungi cahaya rembulan adalah hal pertama yang kulihat. Sesosok pemuda berjubah dan bermata hijau zamrud berdiri di depanku, tersenyum hangat. Tubuhnya memancarkan pendar biru.
"Selamat datang di dunia luar, Lail!" ucapnya sambil meniup telapak tangannya, menerbangkan pasir berkilauan ke atasku seperti kembang api mini.
Aku termangu sesaat. Ada beragam emosi yang hendak kuluapkan saat itu juga. Aku langsung bersujud di hadapan pemuda itu, menangis gembira.
***
Peri Bulan menemaniku berjalan-jalan. Kami pergi melintasi padang rumput yang penuh ilalang. Aku tak henti-hentinya menyuarakan kekagumanku terhadap apapun yang kuamati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baur
القصة القصيرةKumpulan cerpen yang genrenya tidak menentu. Bisa jadi drama, bisa jadi horor. Cover hanya pemanis, tidak selalu merepresentasikan isi. Story & cover by Dreki-kun