Aku selalu bingung ketika seseorang memintaku untuk berkisah tentang diriku. Aku hanyalah gadis SMA biasa, dari keluarga biasa, dengan keterampilan serta fisik yang biasa. Semua aspek pada diriku terlalu biasa hingga tak dapat kutemukan hal-hal menarik untuk diceritakan. Karena itulah, aku seringkali berakhir sebagai pengamat yang kadang tak disadari keberadaannya.
Ada keresahan yang muncul setiap kali aku mendapati diriku berada jauh dari anak-anak di kelasku yang sedang mengobrol. Aku baru tahu di kemudian hari bahwa apa yang kurasakan tersebut adalah 'kesepian'. Untuk mengantisipasi ketidaknyamanan itu, akupun mengembangkan kemampuan khusus. Aku menyebutnya 'saklar emosi'.
Jika perasaan itu menyerang, aku akan mengalihkan perhatianku dengan bermain hp atau mendengarkan musik dari headset. Aku tidak perlu emosi melihat orang lain. Cukup sadar diri bahwa kerumunan manusia itu berbahagia dalam dunia mereka, dan yang perlu kulakukan hanyalah menyibukkan diri dalam duniaku sendiri.
Begitulah caraku membangun zona nyamanku.
***
Hari itu aku berkenalan dengan orang baru. Dia adalah murid pindahan yang menjadi teman sebangkuku (setelah sekian lama aku duduk sendirian). Gaya berpakaiannya, rona wajahnya, serta nada bicaranya sudah membuatku terintimidasi lebih dulu.
Ah, pasti calon siswa populer, pikirku.
Aku berusaha bersikap ramah dan membangun kesan pertama yang baik, tapi kurangnya pengalaman berinteraksi membuatku begitu payah dalam berkomunikasi. Percakapan kami malah terdengar seperti dialog satu arah.
"Namanya siapa?"
"Kinanda."
"Oh, nama yang bagus! Kenalkan, Aku Maya. Kamu tinggal dimana?"
"Kampung Mangga."
"Pas sekali! aku juga tinggal di dekat sana, tepat di samping kantor dinas kota."
Kemudian hening. Dia memberiku giliran untuk melempar pertanyaan, tapi aku tidak tahu apa yang harus dikatakan saat berbasa-basi seperti ini. Membahas gosip artis? Aku bahkan lupa kapan terakhir kali menengok berita entertainment. Membahas lagu? Aku penggemar post-rock dan musik klasik, membahasnya hanya akan membuatku tampak seperti alien.
Untungnya, momen yang serba canggung itu berakhir karena si anak baru dikerubungi oleh siswa-siswi lainnya yang ingin berkenalan. Mereka melontarkan pertanyaan beruntun layaknya burung yang berkicau. Sesekali Maya menanggapi dengan guyonan yang memicu gelak tawa berjamaah. Melihat gerombolan yang mengerubungi meja kami semakin banyak, aku memutuskan untuk pindah sementara ke bangku lain yang kosong agar mereka bisa duduk lebih dekat.
Dari sudut kelas, aku menonton kerumunan itu. Bulu kudukku mendadak berdiri akibat rasa dingin yang asing. Ah, lagi-lagi aku merasakannya. Segera saja aku menarik headset, memutar musik post-rock dan menyilangkan tangan di meja untuk menopang kepalaku. Kicauan anak-anak itupun tersamarkan menjadi desau tidak jelas. Rasa dingin itu mereda seiring aku bergumam dalam hati.
Ingat, Kinanda. Apapun yang mereka lakukan, jangan pedulikan. Kau dan mereka hidup di dunia yang berbeda.
***
Selalu ada momen ketika diriku merasa "berbeda". Misalnya pada tahun kemarin ketika sekolah mengadakan tur ke Yogyakarta. Semua murid tentu ingin ikut. Namun nominal ongkos yang di luar nalar membuatku mengubur antusiasme itu dengan cepat. Entah ini keberuntungan atau tidak, ponselku sendiri terlalu jadul untuk menginstal aplikasi chat, jadi aku tidak bisa melihat foto-foto liburan yang dipamerkan di grup kelas.
Sejak kecil aku terbiasa hidup seadanya. Dulu aku tidak mempedulikannya karena sekolahku sendiri terdiri dari orang-orang kampung yang sama-sama tidak berpunya. Tapi ketika bersekolah di pusat kota, aku baru sadar akan banyaknya hal yang tidak pernah kucoba, mulai dari aksesoris, gawai, pakaian, hingga makanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baur
Short StoryKumpulan cerpen yang genrenya tidak menentu. Bisa jadi drama, bisa jadi horor. Cover hanya pemanis, tidak selalu merepresentasikan isi. Story & cover by Dreki-kun