Seharian itu aku berkeliling mencari Kara. Hasilnya nihil. Aku bahkan telah tiga kali menelusuri rumah sakit, namun tidak ketemu juga.
Di sebuah lorong aku berpapasan dengan Ibu. Kupikir seharusnya ia sibuk bekerja sekarang. "Kamu kemana saja?", tanyanya ketus.
"Mencari temanku.", Aku menjawab cepat. Aku masih ingin mencarinya tetapi Ibu melarangku.
"Sudah malam, kamu sebaiknya tidur saja, biar aku yang mencari. Siapa namanya?"
"Kara Amelia. Kamar 1203", jawabku dengan napas tersengal, kelelahan. Ibu menuntunku ke kamarku. Seorang pria asing, yang waktu itu menahan pelayan di restoran, menyambutku dengan balon warna-warni.
"Siapa dia?", tanyaku tanpa mengomentari kejutannya.
Pria itu menjentikkan jarinya. "Pertanyaan bagus, Kinar. Namaku Arman. Hari ini kamu dapat memanggilku paman, tapi sebentar lagi kamu akan memanggilku . . . Papa!"
Mulanya aku tidak paham, namun otakku mencerna dengan cepat. "Apa maksudnya . . . ? Ibu akan menikah dengannya?"
Ibu mengiyakan. "Minggu depan."
"Tidak, aku tidak mau ayah baru!", tolakku keras. "Sudah cukup dengan Ayah, aku tidak mau lagi ada yang lain."
Ibu sepertinya tidak menyukai ucapanku. "Lalu apa? Kamu ingin kita kembali bersama si brengsek itu? Sudah lama aku menderita tinggal bersamanya, dan akan kupastikan hidupku bersih dari keberadaannya!"
Aku terkekeh dingin meski sama sekali tidak berpikir ini patut ditertawakan. "Menderita? Ibu? Yang benar saja. Coba ingat lagi siapa sesungguhnya korban atas semua ini. Apa ibu tahu rasanya dikunci dalam ruangan sempit dan gelap? Diberi makanan sisa layaknya anjing, dipukuli seperti samsak, dan dirutuki berkali-kali seakan dirimu lebih rendah dari sampah? Tidak, kan? Akulah yang mengalami semuanya. Sedangkan Ibu? Ibu kabur meninggalkanku dalam kesendirian. Dalam kesepian."
Lagi, air mataku mengalir tanpa diminta. Jika Ibu punya hati nurani pastilah ia akan memelukku erat atau setidaknya mengerti kesedihanku. Tetapi muka tembok itu bahkan tidak bergeming melihat tangisku. Ibu justru menamparku untuk yang pertama kalinya.
"Apa yang kamu tahu, hah? Aku takkan pernah menikahi si brengsek itu jika kau tidak ada! Sekarang kamu menyalahkanku? Seharusnya kamu bersyukur hak asuhmu ada padaku. Padahal aku sama sekali tidak mengharapkannya!"
Aku memegangi pipiku yang memerah. Sakit memang, tapi anehnya malah hatiku yang terasa perih. Kulitku mati rasa. Aku terhuyung mundur, keluar dari kamar. Lupakan istirahat. Lebih baik kucari Kara kembali. Hanya ia yang tahu bagaimana menghiburku.
***
Aku baru menemukan petunjuk dini harinya, melalui sepucuk surat di atas tempat tidur Kara. Aneh sekali, sebelumnya aku tak melihat apapun di sana. Namun isi kertas itu membuatku lupa akan kejanggalan ini.
Untuk Kak Kinar, satu-satunya orang yang mengenaliku. Datanglah ke atap dan saksikanlah momen menakjubkan ketika aku terbang di angkasa. Aku hanya dapat melakukannya sekali, jadi jangan sampai telat. Salam, Kara.
Apa-apaan . . . ?
Tak perlu membacanya dua kali, aku buru-buru berlari menuju atap. Di lorong ibu sempat mencegatku, sepertinya ia ingin bicara. "Kinar, aku . . . "
"Nanti saja!", potongku cepat. Aku menempatkan surat tadi dalam genggaman ibu. "Ini dari Kara. Katanya ia di atap. Ku-kurasa ia ingin melompat dari atas sana. Kita harus menolongnya!"
Aku berlari duluan ke tangga, meninggalkan Ibu yang masih termangu. Aku seharusnya tahu kalau Ibu ternyata tidak melihat apapun di sana. Kertasnya kosong.

KAMU SEDANG MEMBACA
Baur
Cerita PendekKumpulan cerpen yang genrenya tidak menentu. Bisa jadi drama, bisa jadi horor. Cover hanya pemanis, tidak selalu merepresentasikan isi. Story & cover by Dreki-kun