Aroma petrikor menguar pekat bersama gerimis hujan. Aku memperbaiki posisi payungku, merasa heran. Padahal baru tadi rasanya aku melihat fatamorgana di jalan beraspal yang kulalui saking panasnya suhu.
"Sudah semuanya?", tanya kernet yang menurunkan koperku.
"Iya, pak. Gracias."
Setelah bus pergi, aku lanjut berjalan kaki menyusuri turunan. Aku bisa melihat rangkaian papel picado tergantung di jalanan, bergambar tengkorak dan sejenisnya. Meski belum mulai, suasana Día de los Muertos sudah begitu terasa. Hari dimana orang-orang memberi penghormatan kepada kerabat yang telah meninggal dan merayakannya. Kalau diibaratkan, seperti perayaan Natal bagi umat Kristiani atau Idul Fitri bagi orang Islam.
"Hola!", sapa Alana salah satu sepupuku ketika aku baru memasuki halaman rumah. Kerabat yang lain pun dengan cepat menyadari keberadaanku.
"Anak Mama pulang juga akhirnya", ucap Mama seraya memelukku erat. "Mama sempat kecewa karena kamu tidak datang lebih cepat untuk menghias ofrenda."
Aku nyengir sungkan. Bukannya tidak mau, hanya saja siklus hidup di perkotaan selalu dikejar waktu. Pegawai biasa sepertiku tidak mungkin menentang atasan yang enggan memberi cuti lebih cepat bagi kami yang ingin pulang kampung. Día de los Muertos adalah penyelamat terakhirku karena masuk dalam hari libur nasional.
Lagipula, bagaimanapun, aku adalah tumpuan keluarga kami. Kerjaku bukan hanya demi memenuhi perutku melainkan juga perut keluarga besar yang totalnya ada tiga generasi. Aku dan beberapa sepupu menjadi pemasukan utama keluarga kami. Yah, istilahnya kami adalah generasi sandwich.
Aku mengenyahkan lamunanku dan berjalan masuk ke dalam rumah. Mataku langsung disambut oleh ofrenda megah yang dihiasi calacas dan calavera (pajangan berbentuk tulang dan tengkorak) dan rangkaian bunga marigold. Indah sekali! Aku yakin mereka mendedikasikan waktu yang lama untuk mengerjakan altar persembahan ini semaksimal mungkin. Arwah kerabat kami akan senang melihatnya.
Malam harinya, semua orang di rumah pergi berziarah ke pemakaman. Ini adalah salah satu tradisi pada Día de los Muertos selain menghias ofrenda. Orang-orang akan menghias makam dengan bunga dan lilin serta membawakan makanan kesukaan anggota keluarganya yang telah meninggal. Dalam kepercayaan kami, arwah mereka akan kembali ke dunia pada malam Día de los Muertos untuk berkunjung. Mereka sangat suka menerima sesajian.
Yah, ini memang hari besar, namun aku menolak untuk ikut dan hanya tiduran di kasur. Tiga hari menaiki bus membuat badanku terasa remuk dan begitu lemas. Rencananya aku akan berziarah besok saja.
"Dios mio!", seruku mendadak saat hendak mengambil minuman dan melihat sebuah keranjang di atas meja. Keranjang itu penuh dengan manisan. "Bukannya ini untuk Cecil?"
Cecil adalah nama sepupu kecilku yang meninggal tahun lalu. Dia sangat menyukai manisan.
Aku memukul kepala. Ceroboh sekali! Kenapa mereka lupa membawa ini? Cecil yang malang, dia pasti sedih melihat makamnya sepi tanpa makanan.
Aku menghela napas. Pada akhirnya aku tetap pergi, ya?
Suara musik nan meriah terdengar sayup-sayup di kejauhan. Bertolak belakang dengan perayaan Día de los Muertos yang identic dengan keramaian, jalan setapak yang kulalui begitu sunyi. Tidak ada siapapun di sini. Semua orang mungkin tengah berpesta di alun-alun atau pergi ke pemakaman. Hanya aku seorang yang melalui jalur di dalam hutan pinus yang penuh semak brambleberry ini.
Menakutkan, tentu. Tapi mau bagaimana lagi? Hanya ini jalan tercepat untuk sampai ke pemakaman.
Untuk mengenyahkan ketakutanku, aku mengalihkan pandangan kepada danau di sebelah kanan jalan. Tempat ini bagaikan permata di tengah kesederhanaan kotaku. Tersembunyi di balik selimut hijau pepohonan, danau luas berbentuk lonjong terhampar seakan hendak memanjakan mata mereka yang kelelahan menjelajahi hutan. Deskripsi yang indah bukan? Bahkan malampun tidak bisa mematikan kecantikan pesisir yang berkilau keperakan tersebut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Baur
KurzgeschichtenKumpulan cerpen yang genrenya tidak menentu. Bisa jadi drama, bisa jadi horor. Cover hanya pemanis, tidak selalu merepresentasikan isi. Story & cover by Dreki-kun