Wonbin masih berusaha menarik tas yang Jiyeon genggam dengan begitu erat, membuat Wonbin menggeram dan sekali lagi menamar wajah Jiyeon, membuat gadis itu meringis dan reflek menggenggam wajahnya hingga tangannya terlepas pada tas itu, Wonbin tersenyum menang dan mencari dompet Jiyeon, mengambil semua yang tersisa di dompet gadis itu,namun seketika senyumnya hilang karena hanya sedikit yang bisa ia dapatkan dari pundi-pundi pencetak uangnya. Ia melempar kasar tas Jiyeon tepat di wajah gadis itu, berjongkok dan kembali mencengkram rahang Jiyeon.
"Kau ingin bermain-main denganku?! Berikan uangnya sekarang!'' ujar Wonbin berteriak di depan wajah Jiyeon.
"Aku tidak punya uang, Ayah. Semuanya telah kau ambil kemarin." ujar Jiyeon lirih membuat Wonbin semakin erat mencengkram rahang Jiyeon lalu menghempaskannya.
"Jika besok kau tidak mendapatkan uang, jangan harap ibu-mu itu akan selamat." Wonbin keluar dengan membanting pintu kasar. Dan tepat saat itu Rose keluar bersama Minjun yang langsung memeluknya.
"Tidak apa-apa Ibu, aku baik-baik saja, apa kalian sudah makan malam?" tanya Jiyeon tersenyum walau ia merasa nyeri saat berbicara karena tamparan Wonbin yang entah berapa kali ke wajahnya.
"Eonni," Rose langsung memeluk Jiyeon dan terisak di bahu kakaknya, ia menyesal tidak membuka pintu lebih awal.
"Tidak apa-apa, Rose, ayo kita makan malam." Jiyeon beranjak dan menuntun Minjun menuju meja yang diikuti Rose, gadis itu langsung membuka kulkas dan menghela nafasnya panjang karena tidak ada apa-apa di sana.
"Ibu, aku akan membeli beberapa bahan makanan, hanya tersisa sawi di sana, aku akan segera kembali." ujar Jiyeon berlalu meninggalkan dapur dan menuju supermaket terdekat.
Gadis itu memilih berjalan ke supermaket yang jauhnya sekitar satu kilometer, menikmati angin malam yang menerpa wajahnya, hari-harinya selalu terasa melelahkan, namun semua lelah itu akan langsung hilang begitu saja melihat ibunya yang sakit baik-baik saja, ia harus mengumpulkan uang sedikit-demi sedikit untuk biaya operasi ibunya, walau ia sendiri tidak yakin uang itu akan terkumpul, namun setidaknya ia telah memiliki tekad.
Jiyeon menghentikan langkahnya saat mendengar suara seseorang yang terasa familiar berasal dari LED TV yang ada di sisi jalan itu menarik perhatiannya, ia semakin berjalan cepat agar mencapai LED TV itu lebih dekat, dan seketika air matanya merebak melihat siapa yang ada dibalik layar kacanya. Seseorang yang sangat ia rindukan.
"Jadi Tuan Jungsoo, anda memutuskan untuk menjalankan perusahan pusat di tanah kelahiran anda, Seoul, karena anakmu telah sembuh dari sakitnya?"
Berita yang sedang mewancarai Park Jungsoo, pembisnis nomor satu Seoul yang baru saja kembali dari Jerman itu membuat Jiyeon semakin membekap mulutnya.
"Ya, aku kembali karena memang sudah waktunya kembali, dan anakku Lian juga telah sembuh dari gagal jantungnya."
Ujar pria paruh baya itu masih terlihat begitu berkharisma itu, setelah mengucapkan itu muncul seorang gadis yang berjalan dengan wanita paruh baya di sisi pembisnis bernama Jungsoo itu, gadis itu semakin membuat seorang gadis terisak di bawah LED TV jalan itu, gadis yang memiliki wajah yang sama dengannya.
"Kalian kembali? Kalian telah kembali?" Jiyeon bermonolog dan semakin terisak disana. Menatap sebuah keluarga bahagia itu.
...
Pagi-pagi sekali Jiyeon sudah berada di kampus, setiap pagi ia selalu bekerja dengan mengantar susu dan koran ke komplek perumahan, dan setelah melakukan rutinitas seperti biasanya , tadi dirinya langsung pergi ke kampus, karena ia tahu Jungkook memiliki kelas pagi hari ini, dan ia tidak ingin membuang kesempatan itu, dalam dirinya selalu tertanam jika ia harus menyelesaikan amanah yang telah diberikan padanya, salah satunya menjari Kepala Departement di eksekutif mahasiswa dan tugasnya di acara Spring Day kampusnya kelak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Born To Be Hurt
RomancePark Jiyeon wanita yang tak diinginkan orang tuanya, bahkan di anggap pembawa sial oleh keluarganya.