Three

337 80 23
                                    

"Argghh kemana semua bus di saat seperti ini." Jiyeon mengumpat kesal dan mengacak rambutnya frustasi, mencari cara agar ia segera tiba di rumah, dan sebuah ide gila yang muncul begitu saja di kepalanya membuat ia hanya bisa berdoa jika usahanya ini berhasil, atau buruknya ia akan kehilangan nyawa.

Jiyeon melirik ke arah jalan raya dan melihat mobil sport merah metalice melaju mendekatinya, dengan cepat ia berlari ke bahu jalan dan merentangkan tangannya di depan mobil itu dengan memejamkan matanya, dan berdoa dalam hati semoga ia tidak mati karena aksi gilanya itu.

"Brengsek! Kau ingin mati?! Jika iya jangan korbankan kami!" ujar pria yang memiliki dimple di kedua wajahnya itu yang membuatnya terlihat lebih manis.

"Ahh akhir-akhir ini banyak sekali cara orang untuk mendapatkan uang dengan merugikan orang lain."

Jiyeon tahu itu sindiran, mungkin jika di keadaan normal ia akan meninju mulut pria itu, namun saat ini dirinya terdesak, bukan saatnya ia memberontak, ia hanya perlu sampai di rumah secepatnya.

"Tuan, kumohon antarkan aku ke rumah, aku... aku sudah menunggu bus sejak tadi, tapi tak ada satu pun yang lewat " Nada suara Jiyeon terdengar putus asa membuat kedua pria itu saling menatap seolah bernegosiasi lewat mata mereka untuk membantu gadis asing itu atau tidak.

"Tck. Bagaimana jika kau salah satu komplotan penjahat yang akan memanfaatkan kami?" ujar pria dengan wajah tampan yang Jiyeon yakin jika tersenyum akan membuat semua wanita meleleh, pria itu sedikit lebih tampan dari pria berlengsung pipit tadi.

"Tidak-tidak, aku bukan orang jahat, kau bisa menjaminnya, ini kartu mahasiswaku, aku mahasiswa di kota ini, kau bisa mencariku jika aku berbohong, kumohon kali ini saja Tuan, aku harus segera tiba di rumah." ujar Jiyeon setengah memelas, membuat kedua pria itu kembali saling menatap dan akhirnya menganggukan kepalanya.

"Masuklah, kami akan mengantarkanmu."ujar salah satu pria yang langsung masuk ke sisi kemudi diikuti pria yang satunya, begitu juga dengan Jiyeon yang menuju ke kursi belakang.

"Jadi kau anak Sopa University? Anak eksekutif mahasiswa?" Tanya salah satu dari mereka melihat jaket yang digunakan Jiyeon yang memang merupakan jaket anggota eksekutif mahasiswa.

"Ahh ya begitulah, aku Jiyeon." ujar Jiyeon mencoba membangun suasana dengan kedua pria itu, karena sejujurnya ia benci kebisuan saat dirinya sedang bersama seseorang.

"Aku Taehyung dan dia Sungyoon, kami dari Departemen of Vocal Music. Bagaimana denganmu?" tanya pria yang mengemudikan mobil, yang baru Jiyeon ketahui bernama Taehyung.

"Ooh kalian anak Sofa juga, aku dari Departemen of Classical Music, terima kasih telah menolongku." ujar Jiyeon, dan dalam hatinya ia terus merapalkan doa agar segera tiba di rumah dan berharap ibunya dan adiknya baik-baik saja.

"Cukup panggil aku Taehyung, dan apa posisimu di eksekutif mahasiswa?" tanya Taehyung yang terlihat antusias, memang pria itu selalu memandang kagum para aktivis kampus terutama yang berhasil masuk ke jajaran eksekutif mahasiswa.

"Ah itu, aku kepala Departement untuk minta dan bakat mahasiswa. Jadi, mungkin jika kau ingin menyumbangkan ide atau konsep untuk mengembangkan minat dan bakat mahasiswa kau bisa menghubungiku." ujar Jiyeon tersenyum, jenis senyuman yang mampu membuat Taehyung meleleh seketika.

"Aah iya, aku punya beberapa ide, bolehkah aku meminta nomor ponselmu? Mungkin jika kau tidak sibuk aku ingin membahasanya lebih dalam denganmu." Taehyung tersenyum dan mengalihkan tatapannya ke belakang, namun Sungyoon menatapnya tajam seolah mengatakan. 'Berhenti menjadikan dia targetmu selanjutnya.' Namun sepertinya tatapan Sungyoon tidak digubris oleh Taehyung buktinya Jiyeon dengan ragu menerima ponsel Taehyung  dan menekan digit angka yang menjadi nomor teleponnya.

"Terima kasih atas bantuan kalian, aku akan menelaktir kalian lain waktu." ujar Jiyeon begitu tiba di depan gang menuju rumahnya, kedua pria itu hanya tersenyum sebelum melajukan mobilnya.

Jiyeon dengan cepat berlari menuju rumahnya, ia membuka pintu dengan kencang dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah rumah yang berantakan dengan beberapa perabotan yang telah pecah menjadi serpihan-serpihan kaca, dari pintu depan ia bisa mendengar teriakan ayahnya yang terus menggedor-gedor pintu kamar Rose, dengan cepat ia berlari menghampiri ayahnya.

"Ayah. Berhenti!" Teriakan Jiyeon membuat perhatian Wonbin teralihkan padanya, dan seringai tajam langsung muncul di wajah pria paruh itu.

"Oh mesin pencetak uangku telah kembali, kemari kau."

Jiyeon sudah mengeratkan genggaman tangannya pada tas selempang miliknya.

"Aku tidak punya uang, Ayah. Bukankah kemarin kau sudah mengambil semuanya." ujar Jiyeon lantang walau mada suaranya bergetar, Wonbin melangkah mendekati anaknya itu dan mencengkram kasar dagu Jiyeon sebelum menghempaskan gadis itu begitu saja hingga membentur sudut meja.

"SIAPA YANG MENGAJARIMU UNTUK BERTERIAK PADA ORANG TUA HAH?!" Wonbin berteriak dan menatapnya nyalang.

"Ayah yang mengajariku, Ayah lupa jika selalu berteriak di dalam rumah? Tidak pernah mengajarkanku hal-hal baik." Jiyeon masih melawan, membuat tangan ringan Wonbin menampar wajahnya kuat setelah itu menjambak kasar rambut Jiyeon.

"Sudah berani melawanku rupanya anak sialan?!" Wonbin kembali membenturkan kepala Jiyeon pada meja kaca di ruang tamu, Jiyeon tidak meringis atau apapun, baginya semua itu sudah menjadi makanan sehari-harinya asal adik dan ibunya tidak mendapatkan kekerasan ayahnya, ia rela melakukan itu.

Sedangkan di dalam kamar Rose berusaha menggeser meja rias yang tadi ia gunakan sebagai penghalang agar pintu tidak terbuka, namun entah mengapa kini mereka berdua terlihat keberatan padahal tadi saat menggeser meja itu hingga mencapai belakang pintu tidak begitu terasa, Rose hanya bisa meringis mendengar teriakan ayahnya dan juga bunyi benturan yang ia yakini adalah kakaknya, yang lagi-lagi mendapat penyiksaan ayahnya, dirinya terus mendorong meja dengan terisak-isak, Minjun yang berniat membantu tidak diperbolehkan oleh Rose, ibunya memiliki penyakit lemah jantung dan ia tidak ingin sesuatu terjadi pada ibunya.

"Biarkan Ibu membantu, kita harus menolong Eonnimu secepatnya." ujar Minjun yang sudah beranjak dari ranjang dengan wajah yang sembab oleh air mata, tujuh belas tahun ia melihat bagaimana penderitaan Jiyeon yang selalu di siksa oleh Wonbin, dulu dirinya masih sehat dan masih bisa melindungi Jiyeon dan Rose.

"Tidak Ibu, Eonni akan sedih jika mengetahui ini, kumohon bertahan sebentar lagi, aku akan membuka pintunya." ujar Rose masih berusaha, ia tidak ingin membuat kakaknya khawatir, kakaknya yang paling hebat yang tidak pernah mengeluh dengan keadaan, Rose tau bagaimana lelahnya Jiyeon yang harus bekerja sekaligus kuliah untuk membiayai kehidupan serta biaya sekolah Rose, maka dari itu, Rose juga bekerja paruh baya di supermaket, ia juga selalu menggunakan uangnya dengan hati-hati karena yang ia prioritaskan adalah membiayai sekolahnya sendiri, walau kadang kakaknya masih membantunya, namun Rose sebisa mungkin meminimalisir pengeluaran kakaknya untuk biaya sekolahnya.


Jangan lupa vote dan comment...

Born To Be HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang