Jae saat ini sedang bersiap tidur di kamarnya setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan. Ia menoleh ke arah kamar Matcha, melihat marvien tengah tertidur pulas di sofa dekat keranjang Matcha.
Ia lantas bergegas membawa marvien ke kamarnya, tak lupa memberinya selimut dan menaikkan suhu pendingin ruangannya, agar tidak terlalu dingin.
Tak lama, gawai di dalam sakunya bergetar, menandakan telefon masuk dengan ID pemanggil 'Kakek'. Jae bergegas meninggalkan kamar marvien dan mengangkatnya.
Setelah perbincangan, Jae bergegas menuju kantornya. Kakeknya bilang terdapat penyelundupan dana oleh sekomplotan karyawan disana, ia harus segera datang ke kantornya dan mengurus permasalahan tersebut.
Tanpa tau baterai ponselnya sudah menunjukkan angka 2%.
________
Hua Hiks.. Huaaa. Huaaa
Pagi pagi sekali, sekitar pukul 3 pagi, Marvien dikejutkan dengan suara tangisan Matcha. Baru kali ini Marvien melihat Matcha se- tidak tenang ini. Bagaimana bisa?
Dengan wajah mengantuknya, gadis itu mendekati tempat tidur Matcha untuk mengecek kondisi bayi itu. Wajahnya nampak merah, bayi itu menangis dan nampak kesakitan. Badannya panas, dan bayi itu tidak mau diam.
Gadis itu terkejut, apa yang terjadi? Matcha demam? Bayi itu kini kejang dan membuat ibunya panik. Marvien harus segera membawa bayi ini ke dokter.
Marvien menangis dan bingung harus menghubungi siapa saat ini. Ia tak mungkin berkendara di saat panik begini. Ia butuh seseorang untuk mengantarnya.
Jae
Satu nama yang terlintas dibenaknya. Pria yang selalu melanglangbuana di pikirannya beberapa minggu terakhir.
Ia lantas men dial nomor telefon Jae, namun tak kunjung mendapat balasan. Ia menelfon sambil memberikan pertolongan pertama pada bayi itu. Ia melonggarkan pakaian matcha dan membawanya ke kasur marvien. Ia memiringkan posisi Matcha sambil melihat waktu yang menunjukkan berapa lama Matcha kejang.
Ia kembali menelpon pria itu dan sambungannya malah dimatikan. Marvien mengirim pesan beberapa kali namun tak kunjung mendapat balasan.
"Ah.. sial. Jae Jae lo dimana sih." Gadis itu menangis. Ia sudah tidak tahan lagi melihat kondisi Matcha begini. Ia tak bisa menunggu lagi. Marvien mengambil kunci mobilnya dan berniat pergi sendiri ke Rumah Sakit.
Ia membawa Matcha masuk ke dalam mobil, dengan ia gendong. Gadis itu mengendarai mobil dengan kecepatan yang cukup tinggi namun tetap berhati hati, sambil melihat kondisi terkini anaknya.
Sesampainya di rumah sakit, gadis itu memasuki ruang PICU dan melaporkan kejadian yang dialami Matcha. Bayi itu kemudian ditangani oleh beberapa perawat dan membawanya ke salah satu keranjang bayi disana.
Marvien menangis dan terduduk di luar ruang gawat darurat anak tersebut. Ia bersyukur masih bisa selamat sampai ke rumah sakit dan tidak melewatkan golden time untuk kejang yang dialami Matcha sehingga anaknya bisa ditangani dengan baik.
Srak
Suara Pintu PICU terbuka, menunjukkan seorang dokter muda telah keluar dari ruangan tersebut. Ia nampak lega, namun masih dalam balutan tatapan yang serius.
Marvien yang masih mengenakan piama nya. Berjalan ke arah dokter tersebut dengan langkah yang cukup cepat. Ia mengusap sisa air matanya dan sedikit merapikan penampilannya.
"Dok, bagaimana perkembangan anak saya?"
"Anak Ibu baik-baik saja. Untungnya, gejala kejang yang dialami tidak terlalu berat karena telah ditangani dengan pertolongan pertama yang tepat. Jika saja anak ibu telat dilarikan ke rumah sakit, Kejangnya akan menyebabkan kerusakan sel-sel otak bayi. Tapi ibu jangan khawatir, adik Matcha sudah bisa langsung dubawa pulang kerumah setelah menebus resep obatnya."
Marvien hampir jatuh, Ia lega walau mengetahui Matcha tidak akan kenapa napa, tetap saja gadis itu khawatir. Bagaimana pun, Matcha mengalami kejang-kejang dan badannya panas. Marvien takut terjadi sesuatu pada Matcha.
"Gimana keadaan matcha?"
Marvien menoleh, melihat kearah Jae yang terlihat sangat kusut, Ia masih menggunakan pakaian kantornya. Sepertinya pria itu langsung pergi ke rumah sakit tanpa memikirkan penampilannya.
"Kata dokter, dia baik baik aja. Udah dapet penanganan juga. Kamu kalo sibuk balik aja Jae, aku bisa urus Matcha sendiri."
Tatapan jae menyendu, dia terlihat amat merasa bersalah. Marvien jadi tidak tega, mungkin pria itu sedang banyak urusan di kantornya. Ia juga samar mendengar, sepertinya kantor pria itu sedang dalam masalah. Marvien merasa bersalah karena menelfon nya berkali-kali.
"Maaf ca, aku ada beberapa masalah dikantor, makanya aku balik buat ngurusin itu. Baterai ponselku juga mati, lupa bawa charge, untungnya tadi di kantor sempet gue charge. Begitu tau matcha sakit, aku buru-buru ke rs."
Tadi gadis itu memang sempat mengabari Jae soal rumah sakit tempat Matcha dirawat. Gadis itu mengangguk, lalu tersenyum dan memeluk Jae. Ia lega, setidaknya ada pria itu disini.
Jae membalas pelukannya, ia berusaha menenangkan marvien bahwa malaikat kecil mereka baik-baik saja.
"Abis ini gimana? Mau balik ke rumah dulu, ganti baju dan bawa perlengkapan Matcha? Atau gimana?"
"Gausah, ini tinggal tebus obatnya, terus kata dokter matcha udah boleh balik kerumah."
Setelah mengurus administrasi dan menebis obat, mereka akhirnya diperbolehkan pulang dengan beberapa catatan dari dokter. Berhubung Marvien seorang apoteker, ia cukup paham mengenai penggunaan obat dan tindakan jika terulang kejadian kejang yang dialami matcha, sehingga dokter tidak perlu mengulang penjelasan 2 kali.
Matcha tengah tidur di pangkuan Marvien. Mereka pulang menggunakan mobil Jae, sementara mobil Marvien dibawa oleh supir pribadi Jae.
"Maaf ca kamu jadi harus repot bawa matcha sendiri, aku seharusnya ga ceroboh dan percaya gitu aja sama karyawan ku. Seharusnya aku mastiin baterai ponsel sebelum keluar rumah, seharusnya aku epet ngabarin kamu. Kamu jadi repot gini, Matcha sakit seharusnya aku bisa ada disamping kalian. Aku minta maaf ca."
Jae kembali ngeulang permintaan maafnya yang kesekian kali. Mata nya sudah memerah, ia masih merasa bersalah pada Matcha dan Marvien. Padahal Marvien sendiri sudah memaafkan pria itu. Memang dasar Jae nya saja yang cengeng.
"Iya Jae, aku udah maafin kamu, udah jangan nangis lagi, nanti aku bikinin bubur, takutnya kamu flu. Daritadi nangis mulu, mana udara pagi masih dingin banget."
Jae tersenyum senang, sambil mengusap hidungnya yang merah. Namun, tak lama kemudian ia mulai bersin-bersin dan menengok kearah marvien sambil mulai mengeluarkan air mata.
"Icaa.. kayaknya aku mau flu."
Tuh kan
Marvien serasa mengurus dua bayi jadinya.
Tbc
____________
Udah lama banget ga update huhu~
Maaf gaiss.. Aku lagi sibuk bikin skripsi dan penelitian. Otak aku mau kebelah tiga rasanya, belum lagi urusan organisasi. Sebenernya part ini udah kesimpen lama di draft, tapi belum ku selesaiin, sempet ngalamin writer's block juga, bingung mau lanjutin gimana, udah lupa jalan ceritanya wkwk. Mian~
KAMU SEDANG MEMBACA
MACAROON & MOMA
FanfictionON GOING Marvien yang merupakan anak tunggal yang tidak berpengalaman mengurus seorang adik tiba-tiba harus menjadi seorang ibu untuk bayi menggemaskan yang ia temukan di depan pintu rumahnya. "HAH! BAYI SIAPA NIH?" Jae, GM genius yang mampu mencap...