9. (Katanya) Sudah Lupa

87 21 2
                                    

Saat kami kembali, hanya ada Killa yang duduk di dapur sembari menegak segelas air dingin.

"Nih makan," ujarku dan menyodorkan beberapa kotak makanan.

"Gue hampir aja mati kelaparan." Tanpa banyak kalimat pembuka lagi, gadis itu sudah mulai menggerayangi makanan yang aku berikan.

Drian sudah hilang ke kamarnya dan aku pun tak berminat untuk berbicara dengannya lagi sampai hari ini usai. Aku melirik jam dinding yang menunjukkan waktu yang hampir tengah malam. Berapa lama aku dan Drian keluar?

Hari berganti dan kami memutuskan untuk membeli beberapa pakaian sebelum bertemu dengan rekan jurnalis Ilham. Kalian ingat? Kami hanya membawa tubuh dan tanda pengenal kami ke negara ini.

Aku akan menulis materi yang akan Killa dan Riza bawakan saat diskusi dengan para jurnalis. Aku sengaja mengambil porsi ini karena aku belum cukup percaya diri dengan kemampuan berbicaraku.

"Lo gak jetlag?" tanya Drian.

Aku menatapnya tanpa ekspresi sebelum membuangnya ke arah lain.

Jujur aku masih belum tahu cara bersikap sejak kejadian semalam. Saat laki-laki itu menyatakan perasaanya dan menciumku dengan frustasi. Aku tak bisa mengartikan apapun dari kejadian semalam.

Drian menahan tanganku dan membuat kami berdua terpisah dari rombongan.

"Gue minta maaf soal semalam. Kalau lo gak nyaman, lo boleh lupain semuanya. Anggap aja gue teman lo kaya yang lain," protesnya atas sikap anehku.

"Oke," balasku dan berusaha pergi, namun genggaman tangannya masih setia melekat.

"Itu bukan cara Nora jawab kata-kata gue." Aku menyerngit bingung. "Nora bakal-"

"Stop!" potongku. "Nora yang lo kenal itu orang yang berbeda."

***

2020

Aku berdiri di depan campku. Sudah ada Drian dan Riza yang turun dari sepeda dan berjalan menghampiriku, Thea, dan Killa.

"Kita pamit ya," ucap Drian yang memainkan gelang hitam yang kemarin aku belikan.

"Hati-hati dijalan, kabarin kalo ada apa-apa," balas Killa.

"Hmm... Kira-kira siapa ya yang bakal sombong duluan?" tanya Drian sembari melirikku.

Aku terdiam di ujung dan tak membalas pertanyaan Drian.

Entah mengapa, ada rasa sesak di dadaku saat menyadari jika kisahku di Pare usai sampai disini. Tidak ada lagi kelas subuh. Tidak ada lagi bersepeda keliling kota. Tidak ada lagi budr pecel langganan yang setia mengantarkan makanan. Tidak ada lagi Thea dan Killa. Tidak ada lagi Drian. Hidup akan berbeda setelah ini. Tapi apakah hidup akan baik-baik saja tanpa itu semua?

"Kapan-kapan kita main ke Lombok deh," cetus Riza.

"Ke Dufan juga dong!" ajak Thea.

"Kemana aja lah, asal ketemu lagi." Riza tertawa kecil.

"Kalian hati-hati dijalan ya besok. Pada naik pesawat kan?" Thea dan Killa mengangguk

"Lo kenapa sih, Ra? Sakit gigi?" tanya Drian.

Aku dengan cepat menggeleng dan menjawab, "Engga anjir, gue lagi pingin kalem aja."

"Alah bacot!" Drian menghampiriku dan menarikku dalam dekapannya. Entah mengapa air mataku malah jatuh di atas kaosnya.

Sial.

Ini memalukan.

***

Entah kenapa aku kesal- tidak. Aku muak dengan semua bualan Drian tentang Nora yang sekarang dan Nora yang dulu.

Invisible String | Ryujin ft. JaehyunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang