Jika harus tenggelam dalam sebuah ketidaktahuan, aku akan memilihnya. Lebih sakit rasanya mendengar sebuah fakta dari pada harus mati tenggelam dalam palung terdalam sekali pun.
Aku membiarkan pikiranku dipenuhi oleh pemandangan indah Santorini dan memikirkan hal-hal yang lebih indah lagi jika aku berkesempatan menuju Athena, kiblat para filsuf. Namun sekelebat memori tentang masa lalu menghantam otakku setiap lima belas menit dan membuatku tak tahan.
"Take this. You need it." Riza menyerahkan obat yang Ia berikan di dapur beberapa hari yang lalu.
"Nggak, gue bisa bertahan kok." Aku tersenyum dengan tenang dan meyakinkan Riza.
Tiba-tiba otakku kembali diserang oleh ingatan singkat abstak yang bergerak cepat itu. Menampilkan cahaya, kilatan, dan menyeruakan kembali aroma dari masa lalu.
Aku memegang kepalaku dan menaruhnya diantara kakiku.
Hal ini jauh lebih menyiksa dari rasa sakit akibat luka manapun.
Riza diam tak berkutik sampai aku kembali normal, lalu Ia menyuruhku untuk tenang dan mengatur napasku.
"Minum, Ra." Thea menyerahkan sebotol air mineral dingin dan duduk bersamaku dan Riza di pelantaran minimarket.
"Makasi, Ti." Riza memberikan air yang sudah terbuka dan aku segera meminumnya.
"Minum aja dulu obat lo sampai kita balik lagi ke Indo. Abis itu lo bisa konsul sama dokter lo," saran Thea.
"Gue gapap-"
"Lo kenapa-napa," potong Thea.
"Lo kenapa-napa, Nora. Kalau lo gak nyaman, berarti lo kenapa-napa. Tolong sekali aja jangan keras kepala."
"Nanti malam gue minum," jawabku menyerah.
"Gak, sekarang." Thea mengambil obat itu dari tangan Riza dan menyerahkan sebuah pil kepadaku.
Dengan berat hati aku meminumnya. Aku mungkin akan tidur cepat malam ini.
Sesuai perkiraan aku tidur jam 7 semalam, sesaat setelah kami sampai di rumah nenek Denis. Mereka bahkan tidak membangunkanku untuk makan malam karena aku tertidur seperti orang mati kata Kak Fira.
Sekarang jam 8 pagi dan tak ada satu orang pun yang sudah bangun selain aku. Aku berjalan menuju dapur dan menemukan mesin penggiling kopi beserta set alat pembuat kopinya, lengkap dengan biji kopi sangrai di sudut dapur yang cantik itu.
Tanpa permisi aku mulai menggiling biji kopi, memanaskan air di poci, dan menyendokkan gula dan kremer di gelasku.
Setelah menyeduh kopi yang beraroma nikmat itu, aku berjalan ke taman dengan membawa mugku yang masih mengepulkan asap.
"Udah bangun?" sapa Drian yang berjalan kikuk ke arahku.
Aku diam dan tak menanggapinya untuk sesaat, sampai sebuah pertanyaan konyol ku lemparkan.
"Lo gak kerja? Gak bertugas?" Drian semakin kebingungan karena tidak mengetahui pertanyaan semacam itu akan ku lontarkan untuknya. "Lo ngapain sih ikut jauh-jauh kesini?"
"Em- itu alasan pribadi," jawabnya.
"Alasan pribadi semacam apa? Mau jagain gue? Atau mau nebus dosa-dosa lo?" entah energi negatif dari mana membuatku menyerang Drian di pagi hari yang cerah.
"Iya," balasnya dengan rasa percaya diri yang telah kembali. "Gue kesini buat jagain lo. Gue kesini buat nebus dosa-dosa gue."
"Lo gak perlu ngelakuin itu," tukasku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible String | Ryujin ft. Jaehyun
ФанфикApa jadinya ketika kita harus bertemu lagi dengan seseorang dari masa lalu? Apa jadinya jika orang itu ternyata memendam rasa selama ini dan mengungkapkannya sekarang? Mungkin hal itu tidak masalah jika masa lalu yang kita bicarakan adalah sebuah ke...