Kami semua panik. Tidak satu pun dari kami sadar jika sudah menjadi sasaran para aparat. Dan sekarang alat komunikasi satu-satunya untuk menghubungin Drian sudah lenyap.
"Lari ke gedung itu," ujar Riza.
Sesuai perintah, aku lari dengan cepat diikuti Thea, Killa, dan Riza di paling akhir. Kami berlari sambil melindungi kepala kami dengan tangan, walau aku tau itu sia-sia jika peluru kembali dilontarkan, setidaknya aku sudah berusaha berlindung bukan?
Kami sampai di balik gedung dengan selamat. Aku menatap Riza dan berkata, "Ini masih jauh dari tempat Drian nunggu kita."
Riza melirik jamnya dan mengangguk paham.
"Kita masih punya waktu sebelum keberangkatan pesawatnya," balas Riza.
Aku menyuruh yang lain mengecek jika jaringan mereka mungkin sudah ada sinyal.
"Gak ada, kosong," ujar Thea.
"Kita harus gimana?"
"Ayo jalan," usul Riza.
Kami berjalan menyusup dalam kerumunan. Sebisa mungkin menghindari tempat yang rawan terjadi penculikan. Aku memegang tangan Riza dengan kuat dan sebalik nya ia menggenggam tanganku dengan erat.
Setelah sampai dibawah jalan layang, kerumunan semakin renggang. Seseorang memegang bahuku dan dengan cepat aku menoleh.
Itu Drian. Ia tidak mengenakan seragamnya lagi, hanya kaos polo hitam dan celana levis hitam.
"Kenapa kalian gak bisa dihubungin?" tanya Drian. "Udah, jelasinnya nanti aja. Denis udah telpon."
Kami berlari mengikuti Drian yang memimpin di depan. Laki-laki itu terlihat tangguh dengan lengan kencang dan bahu yang tegap.
Ia sesekali melirik jam tangan hitamnya saat berlari. Ku perhatikan ada dua gelang melingkar ditangannya. Satu, yang mirip dengan punyaku. Satunya lagi gelang coklat dari biji kopi.
***
2020
"Ra, coba rabain kantung celana gue," kata Drian yang sibuk menyetir motor sewaan kami.
"Cari gelang gue," lanjutnya.
Aku meraba kantung celana milik Drian. Kiri, kanan, dan kantung belakang, tapi aku tidak bisa menemukan keberadaan gelang itu.
"Gak ada. Di tas lo kali," kataku.
"Masa sih? Tadi gue taruh di kantung celana," katanya.
"Emang gelang yang mana?" tanyaku.
"Lo gak pernah liat? Gelang kopi yang selalu gue pake."
Aku gak pernah benar-benar memperhatikan Drian sejeli itu. Tapi sepertinya gelang itu berharga untuknya.
"Bentar ya, gue cari gelang gue dulu." Motor kami berhenti di pinggir jalan.
Laki-laki itu berdiri dan meraba kantung celananya sendiri. Seperti kataku tadi, tak ada gelangnya disana.
"Masa ketinggalan di Mall?" tanyaku.
Ia tak menjawabku dan melanjutkan pencariannya di tas.
"Eh iya di tas." Ia berbalik dan tersenyum dengan senangnya ke arahku.
"Itu gelang dari siapa?" tanyaku penasaran setelah motor kami kembali berjalan
"Cindy, adek gue."
"Adek atau adek?" godaku.
"Adek, Noraaaa..."
***
Drian mengemudi dengan cepat di jalan tol yang mengarah langsung ke Bandara Soekarno-Hatta. Laki-laki itu seperti dikejar setan. Aku yang duduk di sampingnya mengamati speedometer yang sudah melengkung drastis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible String | Ryujin ft. Jaehyun
Fiksi PenggemarApa jadinya ketika kita harus bertemu lagi dengan seseorang dari masa lalu? Apa jadinya jika orang itu ternyata memendam rasa selama ini dan mengungkapkannya sekarang? Mungkin hal itu tidak masalah jika masa lalu yang kita bicarakan adalah sebuah ke...