2020
Drian suka sekali memakai kaos polo hitam dan levis dengan warna yang sama. Setiap kali bertemu dengannya, aku selalu mendapatinya memakai baju dengan model yang sama, selain jersey hitam waktu kami bertemu di tempat es buah.
"Lo gak punya baju lain ya?" tanyaku tanpa malu.
"Kenapa, Ra?"
"Baju lo item semua ya?" tanyaku lagi.
"Oh ini," iya menunjuk bajunya. "Gue kesini gak ada rencana, jadi masukin yang gue liat aja. Eh ternyata gue cuma bawa enam kaos polo hitam sama tiga levis hitam dong. Ada sarung sama kaos futsal juga. Ya, tapi masa keluar sama lo pake sarung sama kaos futsal," jelasnya.
"Emang gimana naik sepeda pake sarung?" balasku. "Eh, tapi kemarin lo ketemu gue pake kaos futsal."
"Kan kemarin emang mau pergi futsal, Nora sayang..."
"Dih, apaan lo gajelas."
"Bilang aja kalau baper, Ra."
***
Aku sebenarnya ingin memasak sarapan untuk kami semua. Namun, berhubung rumah ini kosong, begitu pula bahan makanannya, jadi kami akhirnya memesan makanan dari Gojek.
Riza dan Drian masih tidak saling berbicara. Denis masih kesal dengan tingkah kekanan-kanakan mereka. Thea sama kesalnya dengan Denis. Sedangkan Killa bergantian mengobati lukaku, Drian, dan Riza.
"Kalau emang lusa kalian jadi buronan, gue udah ada rencana buat pelarian kita," kata Denis setelah mengatupkan mulutnya lebih dari sejam lamanya.
"Gimana, Den?" sambut Killa.
"Gue bisa seludupin kalian di pesawat. Kita ke Ankara, nyusul Ilham dan Kak Fira. Kalian semua punya Passport kan? Gue bisa minta orang gue buat ngurus visa kita."
Gila.
Itu yang muncul di otakku setelah mendengar gagasan Denis.
"Lo bisa keluar tapi belum tentu bisa masuk," tukas Drian.
"Gue setuju sama Drian kali ini. Itu bahaya, Den," kataku.
Di ujung sofa Thea juga tampak kontra dengan usulan Denis soal kabur ke Ankara.
"Kalo situasinya gawat banget, mungkin kita bisa ke Ankara," ujar Thea.
"Gue gak ikut-ikutan," kata Drian.
"Dari awal, emang gak ada yang ajakin lo masuk ke masalah kita," tukas Riza geram. "Lo yang maksa mau datang buat bantuin kita, sekarang lo juga yang gak setuju."
"Lo gak ikut-ikutan tentu karena lo bukan buron aparat dan jika memang iya, lo kan anak jendral, ya lo tau apa yang bisa bapak lo lakuin buat lo," lanjut Riza.
"Lo ada masalah apa sama gue?" tanya Drian mulai panas.
"Gak ada. Dari awal gue baik-baik aja sampai lo berusaha dekatin Nora lagi," jawab Riza.
Tentu saja aku terkejut. Kenapa Riza membawaku dalam perdebatan mereka?
"Oh. Jadi lo cemburu kalau gue dekat sama Nora?"
Riza berdiri dari sofa dan dengan sigap aku menahan tangannya.
"Riz, udah," larangku.
Drian mengusap wajahnya kasar lalu bangkit dari tempatnya duduk. Iya menatapku sepersekian detik lalu menyambar seragamnya dan pergi dari rumah itu.
"Bagus, pergi aja dari tadi," ujar Riza.
"Lo kenapa sih sama Drian?" tanyaku.
Riza hanya diam dan tak menjawabku.
"Kalian semua nyembunyiin apa tentang Drian?" tanyaku pada mereka semua.
Mereka tak bergeming. Semua menghindari tatapanku. Ada apa sebenarnya?
***
Drian kembali sore itu dan langsung berbicara empat mata dengan Denis. Aku dan Killa hanya mengamati mereka berdua dari taman belakang. Syukurnya, Riza sedang membeli makanan di luar dengan Thea.
"Nora," panggil Drian.
Aku menoleh cepat.
"Boleh ikut gue sebentar?"
"Kemana?" tanyaku ragu.
"Sebentar,"
Laki-laki itu berbalik dan pergi ke arah mobilnya. Ku pikir hanya sampai sana, ia malah masuk ke dalam mobil yang kami gunakan semalam.
Aku mengikutinya masuk ke dalam mobil dan suara mesin mulai berderu. Mobil itu keluar dari pekarangan dan mulai membelah jalan raya.
Kami berdua duduk dalam kesunyian. Aku sendiri merasa tegang, karena Drian tampak sangat serius.
"Lo marah sama gue?"
Aku tak tau kenapa pertanyaan bodoh itu bisa keluar dari mulut ku. Naas, pertanyaan itu tidak bisa ku tarik lagi.
"Hm." Drian hanya menjawabnya dengan dehaman pudar.
Setelah setengah jam berkendara, kami sampai di sebuah rumah besar dengan desain khas abad pertengahan. Sepertinya ini adalah salah satu bangunan peninggalan belanda di Kota Bandung.
"Turun, Ra." Drian sudah membukakan pintu mobil untukku dan kini tangan kanannya menarik pergelangan tangan kiriku.
Aku terpaksa mengikutinya tanpa bisa memantah lagi.
Selagi Drian tidak membuka mulutnya, aku menikmati bangunan unik tempat ku berada sekarang. Pilar-pilar besar dan putih menjulang di dalam bangunan itu. Jendela kacanya tinggi, berhias gorden beludru merah kehitaman. Yang paling menarik adalah lampu gantungnya. Lampu gantung kristal dengan pijar keemasan menggantung di langit-langit yang tinggi.
"Jadi," ucap Drian. "Kenapa lo ngilang?"
"Gue gak ingat apa-pun, Dri," jawabku jujur.
"Gak mungkin," balasnya tak puas.
"Lo siapa? Kalau lo kenal gue, pasti lo tau alasan gue hilang. Tapi lo gak tau kan?" ujarku. "Lo siapa, Drian?"
Drian terdiam. Laki-laki itu mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan memutar sebuah alunan piano yang tidak asing bagiku. Ini piano dari salah satu film Studio Ghibli.
"Nora yang dulu pernah cerita," ucapnya sambil menatapku lagi. "Dia pingin dansa di hari pernikahannya dengan lagu ini. Dansa di aula yang luas dengan chandelier menggantung di langit-langitnya." Drian menatap lampu gantung yang ada di atas kami dan itu membuatku tergoda melihat benda itu sekali lagi.
"Tapi ada yang aneh," lanjut Drian.
"Apa?" tanyaku penasaran.
"Nora bilang dia gak mau nikah. Dia gak bakal nikah dengan siapa pun."
"Lo yakin gue ngomong gitu?" tanyaku.
Drian mengangguk pasti.
Memangnya aku bisa percaya dengan laki-laki ini?
Tanpa aba-aba, Drian menarik tanganku dan memposisikan tangan miliknya yang satu di pinggangku. Tanpa persetujuan, ia membawaku berdansa mengelilingi aula bangunan belanda itu diiringi lagu yang sedari tadi masih setia berputar.
"Gue gak bisa dansa," tukasku.
"Gue gak pernah percaya sama lo," balas Drian. "Lo bilang lo pembohong, tapi di saat yang sama, lo juga orang paling jujur di dunia," lanjutnya.
"Gue serius, Drian."
"Gue juga serius. Gue gak akan pernah lagi percaya sama lo," balasnya.
TBC~
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible String | Ryujin ft. Jaehyun
FanfictionApa jadinya ketika kita harus bertemu lagi dengan seseorang dari masa lalu? Apa jadinya jika orang itu ternyata memendam rasa selama ini dan mengungkapkannya sekarang? Mungkin hal itu tidak masalah jika masa lalu yang kita bicarakan adalah sebuah ke...