Aku mulai memikirkan soal Drian semenjak ingatanku kembali. Memikirkan tentangnya dan pekerjaannya.
Apa yang si bodoh itu lakukan di sini sementara kewajibannya jauh di Indonesia?
Apakah Ia tidak takut dianggap pengkhianat kemiliteran karena menemani para buron?
Itu keputusan yang tepat. Itu keputusan yang tepat untuk mengusirnya kembali ke Indonesia.
Aku tidak ingin terjebak dalam pusaran rasa bersalah jika terjadi sesuatu pada pekerjaannya, pada mimpinya. Aku tidak ingin bertanggung jawab dan harus menerima konsekuensi buruk karena itu. Aku- aku tidak ingin Drian di hidupku lagi.
Keputusan tentang UU sudah ditentukan. UU itu terpaksa dicabut setelah mendapat kecaman dari dunia begitu juga peringatan keras dari PBB. Kami, kecuali Kak Fira, kembali ke Indonesia dengan selamat dan mendapat sambutan yang baik.
Keputusan kami untuk kabur ke negara lain di puji oleh para mahasiswa karena memang seluruh provider di Indonesia saat itu di kuasai pemerintah. Mereka hanyak memberikan akses internet di jam-jam tertentu dan tentunya dengan penyadapan dimana-mana.
Setelah kembali ke Indonesia, aku segera mengabarkan Mama bahwa aku baik-baik saja. Dia tidak terdengar terkejut karena tahu betul anaknya yang satu ini sudah menjadi dewasa dan tangguh.
Dari halte, aku naik bis kuning dan turun di perpustakaan. Banyak tugas yang keteteran selama 3 minggu kericuhan kemarin. Aku harus segera menyelesaikannya.
Sebuah kopi kaleng mendarat di mejaku saat aku sedang membolak-balik buku tebal yang baru ku ambil dari rak.
"Buat nemenin begadang." Itu Riza. Dia rupanya tertinggal banyak tugas juga, terlihat dari buku-buku yang Ia bawa.
"Thanks."
"Eh lo gak nugas disini?" tanyaku dengan suara serendah mungkin. Inj perpustakaan, ingat?
"Enggak, gue udah janjian sama Arya di Cafenya Panji." Aku sedikit kecewa mendengar jawabannya namun tetap merelakan Riza pergi.
"Gue duluan ya." Laki-laki itu lalu pergi sambil melambaikan tangan.
Aku mengetik dan menulis secara bergantian secepat mungkin hingga tanganku terasa kebas. Satu persatu mahasiswa di perpustakaan pulang dan digantikan para petugas kebersihan yang akan memulai pekerjaan mereka. Aku melirik jam dan mendesah, ini sudah saatnya pulang.
Langit dipenuhi bintang dan disinari cahaya bulan yang terang, lalu aku menemukannya berdiri di depan gerbang kosanku. Drian.
"Hai," sapanya dengan senyuman ramah khas Drian.
Aku menghampirinya dan berdiri dengan canggung.
"Gue cuma mau kasi ini." Laki-laki itu menyodorkan kartu pos dengan foto Jalan Malioboro lengkap dengan alamat rumah lamaku dan stempel DIKEMBALIKAN.
"Ini apa?"
Drian tidak menjawab dan membiarkanku mencari tahu sendiri. Aku membalik kartu pos itu dan menemukan puisi yang ditulis tangan oleh Drian tanggal 5 April 2021. Lalu, aku mulai membacanya dengan perlahan.
Pernahkah kau teringat untuk memikirkanku
Selama puluhan purnama kita terpisah jarak dan waktu
Akankah ku temukan dirimu lagi
Dalam balutan senyum manis
Dan tawa nyaring favoritku
Apa masih ada manik berbintang di siang hari yang tersisa
Bagaimana dengan semangat menggebu-gebumu
Tentang menaklukan dunia
Akan kah kau mengingat perasaanku
Atau malah itu menghancurkan hidupmu
Apakah aku masih singgah dalam lelapmu
Dan membuatmu terbangun lalu merindukankuDisini aku merindu
Pada gadis yang lebih memastikan kematian dibandingkan hidupnya
Disini aku merindu
Pada gadis yang punya sejuta cerita dan lebih banyak lagi rahasia
Disini aku merindu
Pada gadis yang adalah wanita terkuat sepanjang masa5 April 2021
Aku melirik Drian setelah selesai membaca dua bait puisi itu.
"Lo tau gak kalo puisi itu bukan makanan cinta, melainkan sebaliknya. Puisi itu pemusnah cinta, apalagi kalo cintanya belum kuat," ujarku.
"Lo gak tau seberapa besar cinta gue ke lo," balasnya cepat.
"Cinta? Besar?" aku menatapnya dengan datar. "Gue itu cuma pelarian lo! Selingkuhan lo mungkin!" balasku tak terima.
"Kata siapa?!"
"LO SENDIRI YANG NGAKU KALO LO UDAH PUNYA TUNANGAN. Apa namanya gue kalo bukan selingkuhan, Drian?"
"Waktu itu juga lo masih pacaran sama Leandra kan? Berarti gue selingkuhan lo juga." Aku tak percaya Drian membawa Leandra ke pertengakaran kami.
"Oh... Jadi lo nyalahin gue?"
"Gak ada yang salah dari jatuh cinta, Nora," balasnya dengan tenang.
"Emang gak salah. Tapi yang lo lakuin waktu itu yang salah," lanjutku.
"If I love you less, I might be able to talk about it more."
"You're no Mr. Knightley. So shut the fuck up!" Dialog dari novel Jane Austen itu sangat tidak cocok untuk perdebatan kami hari ini.
"Gue udah gak tau mau ngungkapin rasa cinta gue ke lo dengan apa. Karena itu gue cium lo hari itu."
"And make me as your official mistress. Good job, Drian!"
"Oke." Drian tampak pasrah dan kesal dalam satu waktu. "Gue minta maaf."
"Kata maaf itu harusnya keluar bertahun-tahun lalu," dengusku.
2020
"Napa lo senyam senyum gak jelas? Serem tau!"
Thea menatapku dengan aneh, namun aku mengacuhkannya dan kembali fokus ke ponselku. Lagi pula itu tidak seperti pertanyaan yang harus dijawab.
"Drian ya? Coba liat." Gadis itu merebut ponselku dan mulai membaca percakapanku dengan Drian.
"Mau jalan lagi?"
Aku mengangguk bersemangat.
"Inget lo punya pacar, ege!"
"Gue sama Drian cuma temen kok. Lagian dia asik tau. Sama kaya sahabat gue, Nanta, yang tiap hari nelpon itu."
Thea menilik wajahku dengan datar.
"Yaudah. Asal jangan sampai sakit hati ya. Harus lo yang menangin game ini!" sebuah petuah yang sangat sesat dari seorang sagitarius.
"Game apaan anjir. Lo pikir kita lagi di arcade?!"
"Life is a game, baby. So does love!"
"Terserah deh." Aku melirik jam di kamar dan segera bangkit lalu merapikan buku ke dalam tas.
"Lo mau kemana? Bukannya Drian masih kelasnya bareng Denis?"
"Gue janjian belajar SBM bareng Wira sama Syila. Ikut ga?" tawarku.
"Up. Gak dulu..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible String | Ryujin ft. Jaehyun
FanficApa jadinya ketika kita harus bertemu lagi dengan seseorang dari masa lalu? Apa jadinya jika orang itu ternyata memendam rasa selama ini dan mengungkapkannya sekarang? Mungkin hal itu tidak masalah jika masa lalu yang kita bicarakan adalah sebuah ke...