s e m b i l a n

68 13 4
                                    

Alin dengan napas tersengal menumpukan kedua tangannya pada lutut. Ia menghela napas berat sambil mengusap keringat yang ada di dahinya. Gadis itu berdecak kencang saat melihat gerbang sekolah sudah tertutup rapat.

"Pak, bukain dong," pinta Alin pada pak Asep—satpam di sekolahnya.

Pak Asep menggeleng, "nggak bisa neng, ini udah bel masuk."

Alin melirik jam tangannya, "telat lima menit doang, pak. Boleh ya, saya masuk?"

Pak Asep mengangguk membuat Alin nyengir, "tapi sebentar, saya panggil pak Dodi dulu."

Detik berikutnya Alin melongo lebar menatap punggung pak Asep yang menjauh ke arah ruang guru. Pak Dodi adalah guru kesiswaan di SMA Nusantara, beliau dikenal galak oleh murid-murid di sini.

Alin panik sendiri ketika melihat pak Asep kembali beserta dengan pak Dodi di sebelahnya. Kalau begini, alamat Alin kena hukum.

Dan benar saja, setelah diberi wejangan panjang kali lebar oleh pak Dodi, Alin sekarang harus berdiri di tengah lapangan upacara sendirian dengan posisi tangan menghormat pada bendera.

Malu, panas dan lapar. Itu yang sedang Alin rasakan sekarang. Ia malu karena belum ada satu bulan masuk sekolah, ia sudah harus merasakan hukuman karena datang terlambat. Panas, matahari semakin tinggi tapi pak Dodi belum juga mencabut hukuman yang beliau berikan. Lapar, tentu saja karena tadi Alin tidak sempat sarapan.

Alin memang bangun subuh, tapi setelah sholat dia merasakan serangan mules pada perutnya. Pasti gara-gara kemarin makan rujak bersama Fajri dan dua abangnya. Ia bergegas ke kamar mandi, tapi setelah selesai ia merasa mules lagi. Sampai-sampai ia bolak-balik kamar mandi empat kali karena sakit perut.

Tadi pagi, setelah merasakan perutnya sudah mendingan, ia bersandar lemas pada tepian kasur. Lalu matanya melirik jam dinding, Alin tercengang ketika melihat jam menunjukkan pukul enam lebih dua puluh.

Alin bergegas mandi, memakai seragam sekolahnya dengan rusuh. Berlari menuruni tangga dengan asal-asalan membuat Farhan berteriak.

"Jangan lari-lari nanti jatuh!" Teriak Farhan.

"Alin berangkat, assalamualaikum!" Alin balas berteriak sambil memakai dasinya.

"Lo nggak mau sarapan dulu Alin?!" Farhan bertanya sambil berteriak lagi dari dapur. Laki-laki itu mengangkat bahunya acuh saat tidak mendengar jawaban dari Alin.

Alin berlari ke rumah Fajri, karena biasanya ia berangkat sekolah dengan laki-laki itu. Ia berharap Fajri masih di rumah menunggui gadis itu.

Alin berkali-kali meneriaki nama laki-laki itu dari luar pagar, tapi tidak ada jawaban. Dua menit menunggu, Vera membuka pintu rumah dengan masih menggunakan daster rumahan.

"Loh, Alin?" Vera berjalan mendekat pada Alin yang nemplok di pagar. "Kok belum berangkat?"

"Fajri mana bunda?" Tanya Alin tidak sabaran.

Vera bingung, "dia kan udah berangkat dari tadi, emang kamu nggak bareng sama dia—"

"Alin berangkat bun, assalamualaikum." Alin memotong perkataan Vera. Gadis itu berlari menuju depan kompleks. Akan panjang urusan jika ia tidak segera berangkat.

Sudah tidak ada harapan lagi, jalan satu-satunya adalah naik angkot karena di sekitaran sana tidak ada ojek pangkalan. Jika memesan ojek online, itu membutuhkan waktu lebih lama lagi. Ia juga tidak mungkin meminta Farhan mengantarnya ke sekolah, yang ada mereka pasrah terjebak macet karena Farhan tidak bisa selap-selip diantara mobil lainnya.

Syukur saja angkot dengan arah tujuan Alin segera datang. Ia duduk dengan gelisah, berkali-kali gadis itu melirik jam tangannya.

Tinggal sepuluh meter lagi sampai di sekolah, tapi angkot yang Alin tumpangi tidak kunjung bergerak.

TriangleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang