Prolog

1.1K 42 0
                                    

  Aura dingin dan menakutkan disebuah ruangan terpancar dari seorang pria paruh baya; Edgar William, yang kini sedang duduk di atas kursi dengan kedua tangan memegang raport yang di dalamnya bertuliskan nilai-nilai.

Dua orang perempuan yang berada di dekat pria tersebut, yang tak lain adalah Rosa Aquene; istri dan anak pertamanya; Adelicia Calista Aquene, saling berbicara melalui batin mereka. Rasa tegang menyelimuti keduanya.

"Carla." Suara yang terdengar lembut, namun penuh penegasan itu memanggil sosok gadis yang sedang bermain ponsel tidak jauh dari arah tempat mereka berada.

Carla Oktavian Aquene, gadis itu segera bangkit dan menghampiri sosok pria yang selalu menjadikannya seorang ratu. "Iya, Pa? Ada apa?"

"Cepat masuk ke dalam kamarmu sekarang," perintah Edgar.

Tidak langsung pergi, Carla menatap Edgar sebentar, lalu melirik sosok sang kakak yang usianya tidak jauh beda dengannya. Walaupun ia ingin menanyakan sesuatu pada sang papa, Carla hanya mengangguk mengikuti perintahnya tanpa mau membantah.

"Baik, Pa." Selepas mengatakan itu, Carla melangkah pergi menuju kamarnya.

Sekarang di ruangan tersebut hanya ada mereka bertiga. Licia duduk di atas lantai dengan melipat kedua kaki ke belakang sebagai tumpuan badan. Sedang kepala gadis itu menunduk takut, menunggu respon sang papa sesudah mengetahui nilai hasil ulangan semester akhir miliknya. Hati Licia terus merapalkan do'a, semoga hari ini Tuhan sedang berbaik hati kepadanya.

Beberapa saat suasana ruangan begitu hening. Saking heningnya, suara detak jarum jam pun terdengar, tidak seirama dengan detak jantung Licia yang terus berdebar cepat layaknya sehabis lari marathon.

Suara benda yang dilempar ke atas meja terdengar sangat amat nyaring, memecah keheningan yang sempat melanda mereka bertiga. Licia dan Rosa terlonjak kaget, namun mulut keduanya masih tidak mengeluarkan sepatah kata.

"Dasar anak bodoh! Untuk mendapatkan nilai seratus pun kamu nggak bisa?!" seru Edgar penuh dengan emosi.

Tubuh Licia bergemetaran, tangan gadis itu meremas rok abu-abu yang masih dikenakan olehnya. Keringat dingin menjalar diseluruh tubuh Licia.

"A-aku sudah berusaha, Pa ...."

"Berusaha apanya?! Kalau kamu sudah berusaha, pasti nilai kamu nggak sekecil itu! Memang dasarnya kamu payah dalam segala hal aja, berusaha mati-matian pun tetap nggak akan ada hasilnya," sembur Edgar, pedas.

Keadaan seperti ini lah yang tidak diinginkan oleh Licia, Edgar selalu saja berhasil melukai hatinya dengan mengeluarkan perkataan yang menyakitkan. Papanya itu tidak akan pernah paham dan tidak bisa memahami Licia. Selalu saja menuntut untuk mendapatkan nilai terbesar dan menjadi juara kelas terbaik di SMA Dirgasaka.

"Mas, cukup." Sebagai seorang istri sekaligus ibu, Rosa harus bisa menjadi pelerai diantara suami dan anaknya. Sebelum hal tersebut kian memanas.

"Coba kamu lihat Carla, dari dulu dia nggak pernah mengecewakan saya! Dia selalu mendapatkan nilai terbaik dan selalu mendapat peringkat pertama di kelas. Sedangkan kamu? Apa pernah kamu nggak mengecewakan saya?!"

Tidak berniat menjawab, Licia hanya terus menunduk dalam. Bahu gadis itu bergetar, menandakan bahwa ia sedang menangis.

"Mas!" seru Rosa.

Edgar melirik tajam sang istri, dia mendengkus. "Kamu juga, seharusnya kamu bisa mendidik anak kamu yang satu ini, agar dia nggak terus-terusan mempermalukan saya!"

"Aku sudah mendidiknya, lagipula kamu juga harus tau, kemampuan setiap anak itu berbeda-beda. Kamu nggak bisa memaksa Licia untuk terus mendapatkan peringkat!"

"Kalian nggak ada bedanya," sindir Edgar, kemudian bangkit berdiri.

"Licia bukan anak saya, anak saya hanya Carla," tekan Edgar, mampu membuat hati ibu dan anak tersebut terluka.

Tidak terima Edgar berkata demikian, Rosa lantas bangkit dan mendekati sang suami. Ia memberikan sebuah tamparan, emosinya kian tersulut.

"Berani-beraninya kamu menampar suami kamu!" Edgar balas menampar sang istri. Tidak hanya sekali, tetapi dua kali.

Kini, suasana ruangan tersebut mulai memanas, dua orang dewasa yang seharusnya saling mengerti dan menghargai justru mengibarkan bendera peperangan.

"Sekali lagi kamu berani menampar saya, nggak segan-segan juga saya menghukum kamu," peringat Edgar.

"Aku nggak peduli, aku nggak peduli! Kamu mau menghukumku? Silakan! Apa pun hukumannya, aku terima. Asal kamu nggak berkata seperti tadi, anak kamu bukan hanya Carla, tapi juga Licia!"

"Rosa! Berani kamu melawan saya?! Dengar, anak saya hanya Carla. Licia, anak haram, anak sialan yang nggak berguna itu, itu bukan anak saya! Kalau kamu melawan saya demi membela anak haram itu, itu berarti——"

"Aaarghhhhh!!" Perkataan Edgar terhenti kala Licia berteriak dengan begitu nyaring. Dia menatap ke arah Licia, gadis itu mengacak rambutnya prustasi.

Licia bangkit berdiri, dengan penuh keberanian ia menatap sang papa dengan mata melotot tajam. "Jika Anda tidak menganggap saya sebagai anak, maka saya juga tidak akan menganggap Anda sebagai Papa saya!" Kalimat itu keluar begitu saja tanpa Licia duga, setelah itu ia pergi meninggalkan Rosa dan Edgar.

"Licia!!"

TBC.

Hai, aku kembali!

Gimana kabar kalian?

Ada yang masih inget cerita Licia dan kawan-kawannya?

Yap, setelah aku unpub dan ngebiarin cerita ini berdebu, akhirnya aku up kembali. Tapi, dengan sedikit perubahan. Hehe....

Semoga kalian suka:>

#04/03/23

Safety or DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang