[WY] 07. Sang Penolong

350 35 0
                                    

Karena tidak sanggup berjalan lagi, Licia menjatuhkan diri tidak jauh dari si pria bertopeng emas dan juga Mr. Blonde. Dia bersembunyi di balik pohon yang lumayan besar, gadis itu terus mengerang dan menangis karena merasakan sakit yang teramat pada bagian perut dan kakinya.

Kerongkongan Licia kering, ia membutuhkan segelas air untuk melepas dahaga. Wajahnya nampak lebih pucat, ia membutuhkan bantuan para medis dengan segera. Tangan gadis itu terus memegangi pisau yang masih setia menancap pada area perut, tidak berani untuk mencabutnya.

Napas Licia naik-turun tidak beraturan, kepalanya terasa pening. Walau begitu dia penasaran dengan apa yang sedang dilakukan oleh si pria bertopeng emas pada Mr. Blonde, sehingga ia memutuskan untuk mengintip kedua pria bertopeng itu. Sesaat matanya membelalak melihat adegan perkelahian yang bisa saja merampas nyawa.

“Hanya satu tusukan nggak akan membuat gue tumbang, Kim.” Mr. Blonde tertawa mengejek setelah Kim memberi satu tusukan pada area perutnya. Sosok itu balas menusuk perut Kim, beberapa kali. Tanpa ampun.

“Begitupun gue, Mr. Blonde.” Kim mendorong Mr. Blonde agar sedikit menjauh, kemudian dia berlari guna menendang dada lelaki itu sehingga Mr. Blonde jatuh tersungkur.

Dirasa memiliki kesempatan, Kim pun menendang dagu Mr. Blonde sehingga topengnya terlepas dan mulutnya menyemburkan cairan kental berwarna merah. Kim berjongkok, dia angkat pisaunya tinggi-tinggi sebelum akhirnya menusuk perut Mr. Blonde berkali-kali.

Licia yang melihat adegan itu semakin takut, perutnya bergejolak melihat banyak darah yang menyembur ke atas. Terlebih lengan si pria bertopeng yang mengayunkan pisau pun berlumuran dengan cairan kental tersebut.

“Cukup. Oke, gue mengalah.” Mr. Blonde menatap Kim dengan tatapan sayu, dia sudah terkapar lemah. Namun, Kim justru mengabaikannya dan lebih memilih meninju wajah Mr. Blonde hingga memar dan hidungnya mengeluarkan darah.

Thanks, itu berarti dia milik gue.” Di balik topengnya Kim tersenyum penuh arti, dia bangkit berdiri dan berbalik badan; hendak pergi.

Buru-buru Mr. Blonde mengarahkan sebuah pistol ke arah Kim, bersiap untuk menembak musuhnya itu. “Mengalah bukan berarti kalah, Kim. Gue bakal ambil dia suatu saat nanti!” Licia mendengar dengan sangat jelas kalimat tersebut, dia semakin dibuat takut sebab hidupnya seperti mulai terancam.

Detik selanjutnya suara tembakan terdengar, sebuah peluru berhasil melukai kaki Kim hingga si pria bertopeng emas itu terjatuh. Tubuh Licia bergemetar, berharap sosok itu baik-baik saja.

“Sialan!” geram Kim, dia ikut mengeluarkan pistol yang sedari tadi disembunyikan lalu bangkit kembali. Tanpa menunggu lama ia tembak bahu Mr. Blonde.

Tidak ada lagi perkelahian atau adegan saling tusuk-menusuk dan tembak menembak, Kim segera meninggalkan Mr. Blonde dan menghampiri Licia yang masih bersembunyi di balik pohon. Wajah gadis itu semakin memucat karena ketakutan.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Kim segera membungkuk dan mengangkat tubuh Licia. Membawanya keluar dari hutan. “Terima kasih ….” ujar Licia, tulus. Bibirnya tersenyum tipis. Pandangan gadis itu tiba-tiba saja memburam, dia berkedip-kedip saat semuanya terlihat seperti berputar, dalam hitungan beberapa detik ia tidak sadarkan diri.

++++++

Pagi hari, kediaman Raja didatangi oleh orang tua Licia; Edgar. Datang-datang, tanpa basa-basi terlebih dahulu, pria itu langsung marah-marah pada si pemilik rumah yang jelas-jelas Jacob pun tidak tahu jika Licia sudah meninggalkan rumah mereka.

Raja yang baru pulang dari rumah sakit lantas menghampiri kedua orang dewasa itu, dia meminta penjelasan kepada dua orang yang sedang bercekcok tersebut.

“Tolong jelasin, ada apa ini sebenarnya?! Kenapa Ayah dan Om Edgar bertengkar?!”

Jacob mendengkus, dia enggan menjawab pertanyaan sang anak. Sedangkan Edgar, pria itu menatap marah pada Raja. “Kamu yang sudah membawa Licia ke sini, ‘kan? Sekarang dia di mana? Jangan pernah kamu menyembunyikan Licia dari saya.”

Tidak mengerti maksud papa dari temannya, Raja lantas menatap sang ayah sebelum akhirnya memberi jawaban. “I—iya, karena saya takut Licia kenapa-kenapa semisal tinggal sendirian, jadi saya membawanya ke sini untuk tinggal bersama kami. Hanya sementara waktu saja kok, Om. Lagi pula Licia ada di dalam, saya nggak menyembunyikan dia.”

“Ayah, bisa tolong panggilkan Lic—”

“Nggak ada, Raja. Kamar itu kosong, pakaiannya pun nggak ada. Licia sepertinya sudah pergi diam-diam tanpa sepengetahuan kita.” Jacob menyela, membuat Raja melotot tidak percaya.

“Kan, kamu sembunyikan dia di mana, Raja? Saya yakin Licia disembunyikan sama kamu,” tuding Edgar, langsung mendapatkan tatapan tidak terima dari Raja dan juga Jacob.

“Saya nggak menyembunyikan Licia, Om! Buat apa saya melakukan itu juga?! Lagi pula, bukannya Om sudah mengusir Licia dari rumah? Kenapa sekarang malah mencarinya?!” seru Raja.

Benar ‘kan, jika Edgar sudah mengusir Licia dan tidak peduli lagi pada gadis itu, kenapa sekarang malah mencarinya?

“Nggak usah ikut campur masalah kami! Sekarang cukup kasih tau Licia ada di mana, Raja!”

Jacob yang sudah kesal pun menarik kerah kemeja Edgar dan membawanya sedikit jauh dari Raja. Sementara lelaki itu tidak ingin ambil pusing dan memilih masuk ke dalam; memastikan jika ucapan ayahnya tidaklah benar.

“Dengar, Edgar, saya ataupun Raja sama sekali nggak memiliki niatan untuk menyembunyikan anakmu, kami justru berusaha memberi Licia kenyamanan untuk tinggal di sini,”

“Saya sudah menganggap dia sebagai anak sendiri, asal kamu tau. Walau begitu kami nggak pernah memiliki sedikitpun niat untuk menyembunyikan Licia dari manusia yang nggak pantas dia panggil ‘papa’ ini,” Edgar berusaha melepaskan cengkraman Jacob pada kerahnya, namun pria itu justru semakin memperkuat cengkramannya.

“Edgar, Licia bukan bebanmu, dia anak yang sangat pintar dan berbakat. Hatinya bagitu baik juga lembut, seharusnya kamu bersyukur memiliki anak seperti dia. Tapi, kenapa kamu membencinya? Kalau menurutmu Licia beban, kamu salah besar, Edgar. Yang beban itu justru kamu.” Kembali Jacob melanjutkan ucapannya, sedikit menyentil hati Edgar yang keras seperti batu.

Sebagai teman yang dulu pernah sangat dekat, Jacob jelas tahu bagaimana sifat Edgar dan asal usul temannya itu. Wajar saja jika ia mengatainya beban, sebab kenyataannya memang begitu.

Edgar tidak akan bisa hidup bergelimang harta tanpa kekayaan yang dimiliki oleh Rosa, tidak akan pernah juga merasakan duduk di atas kursi direktur tanpa ada bantuan dari istrinya.

“Sebagai kepala rumah tangga dan ayah yang baik, seharusnya kamu bisa melindungi anakmu, Edgar! Bukan malah menelantarkannya dan mengusirnya dari rumah!” geram Jacob, dia memberikan satu pukulan pada wajah Edgar, kemudian mendorongnya.

“Licia nggak ada di sini, silakan cari ke tempat lain. O’iya, jangan libatkan kami andai Licia menghilang dan nggak akan pernah kembali, karena ini murni kesalahanmu, Edgar.” Setelah mengatakan itu, Jacob berbalik untuk masuk ke dalam rumah. Bertepatan dengan itu Raja keluar.

“Nomor Licia nggak bisa dihubungi, Ayah. Aku mau cari dia, aku takut dia dalam bahaya.”

“Baiklah, hati-hati, Nak.” Raja mengangguk, setelah menyalami sang ayah, dia melangkah menuju mobilnya berada.

TBC.

Safety or DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang