[WY] 17. Pertemuan Ganendra dengan Carla

157 17 12
                                    

Ganendra mendobrak pintu ruangan tempat dia dikurung, berkali-kali sampai pintu tersebut akhirnya terbuka setelah enam dobrakan. Bibirnya tersenyum lebar ketika berhasil membuka pintu kematian yang sudah dirantai dan digembok oleh ayahnya itu.

Mata Ganendra menyapu setiap sudut ruangan. Aman, itu yang dia tangkap setelah tidak melihat siapa pun di area tersebut. Setelahnya Ganendra berlari ke arah pintu utama untuk segera kabur sebelum Leori membawanya ke psikiater.

Langkah Ganendra berhenti tepat di depan pintu gerbang yang menjulang tinggi, dia mengumpat saat pintu tersebut rupanya dirantai persis seperti pintu ruangan tempat ia dikurung.

Dari belakang, suara Leori yang tertawa penuh ejekan terdengar oleh telinga Ganendra. Lantas, Ganendra segera menoleh.

"Kamu tidak akan bisa kabur dari sini, bodoh," kata Leori, sembari berkacak pinggang ketika sudah berhadap-hadapan.

Sebagai respons, Ganendra menaikan sebelah alis. "Benarkah?" Dia tersenyum sinis dengan bola mata yang bergerak ke sana kemari, kemudian memainkan lidah di dalam mulutnya sebelum berakhir memberikan tinjuan pada wajah Leori dan mendorongnya hingga pria paruh baya tersebut jatuh.

Buru-buru Ganendra mengambil batu yang berukuran besar untuk menumbuk rantai sehingga rantai tersebut terputus menjadi dua bagian. Leori yang melihat usaha Ganendra, hanya diam; ia masih bergeming di tempatnya. Dalam hitungan beberapa detik, Ganendra berhasil meninggalkan rumah. Lelaki itu berlari secepat mungkin.

Leori bangkit berdiri, tangannya mengepal kuat. Lelah sekali mempunyai anak seperti si sulung yang selalu menguras seluruh emosinya.

Setelah sedikit jauh dari rumahnya, Ganendra berhenti berlari. Saat melihat sebuah mobil berwarna putih yang hendak melewatinya, Ganendra berlari ke tengah jalan. Ia mengangkat tinggi kedua tangannya, kemudian menggerak-gerakannya ke kanan-kiri. Sehingga mobil tersebut berhenti.

Kaca mobil bagian pengemudi sedikit-demi sedikit terlihat menurun, sebelum Ganendra terkena makian si pemiliknya, dia lebih dulu berjalan ke samping mobil. Saat kaca mobil sudah terbuka semua, Ganendra lantas bersuara.

"Tolong gue! Ada orang yang mau ngebunuh gue sekarang, gue takut! Tolong kasih gue tumpangan sekarang, gue mohon sama lo, kak," pinta Ganendra dengan mimik yang dibuat setakut mungkin, sesekali dia menoleh ke arah belakang.

"O-oh, oke. Cepat masuk, dengan begini lo menghalangi para pengendara lain," titah orang itu, yang rupanya seorang gadis remaja; tanpa ingin berbicara lebih lama lagi sebab ia harus pergi ke sebuah acara.

Ganendra berlari memutari mobil setelah mendapatkan izin, dia lantas masuk dengan cepat dan duduk di kursi depan bersebelahan dengan gadis asing tersebut. Mobil kembali melaju, Ganendra membuang napas lega. Akhirnya dia berhasil melarikan diri.

"Thanks," kata Ganendra, sembari melirik gadis asing itu.

"Kenapa lo nggak langsung lapor polisi aja? Kenapa lo malah ngehalangin mobil gue? Untungnya gue nggak lagi kebut-kebutan tadi," tanya si perempuan, sedikit nampak cuek.

Tidak segera menjawab, Ganendra hanya mengendikkan bahunya seolah dia pun tidak tahu kenapa melakukan hal ini. Yang jelas, untuk beberapa hari ke depan dia tidak bisa menginap di rumah sepupunya.

Jika tidak, Leori akan kembali menyeretnya pulang untuk bertemu dengan bunda Martin.

++++++

"Mama, tadi Licia sama Raja sudah membicarakan soal kapan aku akan berbicara pada kalian sekaligus pada polisi tentang kejadian penculikan tersebut. Beri aku waktu satu bulan untuk itu, apa bisa?" Setelah kembali dari taman, Licia dan Raja menemui Rosa dan juga Edgar yang sedang mengobrol di ruang keluarga.

Mereka kembali nampak serius membahas hal ini. "Tentu, tapi apakah Raja sudah kamu beritahu?" Edgar bersuara setelah menyesap secangkir kopi hitamnya.

Licia menatap Raja sebentar, gadis itu tersenyum tipis kemudian menggeleng pelan. "Belum, tadinya aku berniat untuk memberitahu Raja. Tapi ternyata, aku masih belum siap."

"O'iya Mama, Mama tau dari siapa kalau aku ada di rumah Zayn?" Licia menatap Rosa penuh dengan tanda tanya. Ia penasaran.

"Ah itu, teman kamu yang kasih tau Mama. Dia juga yang bawa mobil Mama waktu kita ke rumah Zayn. Namanya Aldo, dia satu kelas samu kamu?"

Alis Licia bertaut, bingung. Dia memang mempunyai teman yang bernama Aldo di kelasnya, namun lelaki itu tidak dapat berbicara dan berasal dari keluarga miskin. Jadi, kemungkinan besar dia tidak bisa mengendarai mobil. Tetapi untuk memberitahu Rosa, itu bisa saja Aldo menulis apa yang ingin dia sampaikan.

"Apa dia bisa berbicara?" tanya Licia, guna memastikan.

"Ya tentu saja bisa, Lici. Dia 'kan punya mulut, sudah pasti bisa berbicara. Bagaimana, sih, kamu," sambar Rosa, Licia tertawa kecil.

"Mama salah, temanku Aldo nggak bisa bicara meski dia punya mulut. Dia bisu dan berasal dari keluarga yang serba kekurangan. Jadi, sudah pasti dia nggak bisa mengendarai mobil," jelas Licia, membuat Rosa terkejut.

"Aldo teman Raja mungkin?" kata Edgar, dan Raja memberikan gelengan kepala.

"Aku nggak punya teman yang namanya Aldo."

"Ah mungkin dia dari kelas lain." Licia berusaha berpikir positif.

Semenjak kejadian malam itu, Licia sekarang mudah sekali berpikiran negatif dan curiga terhadap siapa pun. Dia jadi lebih waspada juga. Namun, ketakutan itu masih melekat di pikirannya.

Bagaimana jika orang yang sudah memberitahu keberadaannya itu adalah wujud asli si pria bertopeng?

++++++

Ganendra memperhatikan sekitar dengan pandangan bingung setelah mobil yang ditumpanginya berhenti di depan kantor polisi. Dia menoleh pada gadis asing yang kini sedang memainkan ponsel.

"Kita mau ngapain ke sini?" Ganendra bertanya karena gadis di sampingnya tidak memberikan penjelasan apapun setelah berhenti.

Gadis asing tersebut akhirnya berhenti bermain ponsel. Ia menoleh pada Ganendra kemudian berkata. "Ngapain? Udah jelas gue mau ngebantu lo lapor sama polisi atas apa yang lo bilang tadi." Sejenak gadis itu menghela napas.

"Gue nggak bisa diem aja ngeliat orang korban kekerasan kayak lo, mau bagaimana pun juga lo berhak lapor demi keselamatan diri lo sendiri," lanjutnya.

Kedua mata Ganendra melotot, tidak menyangka jika gadis tersebut memiliki tingkat kepedulian setelah berapa menit yang lalu ia mengecap gadis itu sebagai gadis yang cuek.

"Tunggu, siapa nama lo?" tanya Ganendra saat perempuan di sampingnya hendak membuka pintu mobil.

"Ah iya, kita lupa berkenalan. Gue Carla." Karena sibuk dengan pikirannya sendiri saat menuju ke kantor polisi, Carla sampai lupa memperkenalkan diri.

Perempuan itu mengulurkan tangan, ulurannya langsung dibalas oleh Ganendra. "Gue Ganendra, salam kenal, Carla."

"Salam kenal juga, Ganendra," kata Carla dengan senyuman ramah. Kemudian jabatan tangan mereka berakhir.

"Carla, sebelumnya terima kasih karena lo udah peduli sama gue. Tapi, gue nggak mau memperpanjang masalah ini. Jadi, apa bisa kita pergi dari sini?" Ganendra tatap Carla dengan ekspresi memohon.

"Tapi gimana sama lo nanti? Gimana kalau orang itu bener-bener nekat, Gan?"

"Orang itu bokap gue," sosor Ganendra, membuat rahang Carla jatuh dan menatapnya tidak percaya.

"Gue cukup kabur dari rumah selama beberapa hari, gue juga bakal kabarin sepupu gue soal masalah ini. Mereka yang akan bantu gue nanti," pungkas Ganendra.

"Kalau gitu lo tinggal di rumah gue aja, setidaknya sampai luka-luka di wajah lo itu sembuh."

TBC.

Safety or DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang