10. Fahreyza Aryagha: The End Of The Dark

637 69 10
                                    


"Karena orang gila tidak akan pernah pantas untuk dihormati. Lalu untuk apa saya sopan kepada anda?"
— Fahreyza Aryagha

•••

1 tahun kemudian.

"APA!?"

"Ya tuan. Menurut informasi yang kami dapat, mereka akan kembali ke Indonesia di tahun ini. Tapi kami belum bisa memastikan tanggal dan bulannya," jelas pria bertubuh kekar yang tentunya termasuk antek-antek Zen.

"Sial."

Bisakah mereka tidak kembali saja? Astaga Zen ingin sekali menyiksa anak itu dengan tidak tergesa-gesa. Membalaskan semua dendamnya kepada anak yang tak bersalah. Gila, bukan? Oh jelas.

"Itulah mengapa saya menyarankan anda supaya membunuhnya secepatnya dan mengakhiri semua ini."

Emosi Zen semakin membara. Ia mencengkram kuat kerah kemeja bawahannya itu. "JADI TERNYATA LO KASIHANIN DIA, GITU?"

"T-tidak, tuan. Saya hanya menyarankan apa yang terbaik untuk anda." Terdengar jelas nada getaran dari suara yang pria itu keluarkan.

Emosi Zen sedikit mereda, ia melepaskan cengkraman kuat tersebut. Tapi, aura permusuhan masih terletak jelas di wajah pemuda itu.

"Kita juga tidak tahu kapan mereka datang. Bisa saja besok, nanti, lusa, ataupun bulan depan."

Seringaian muncul diwajah Zen sejalan dengan rencana yang baru timbul dari otaknya. Bagus juga, pikirnya. Ia tidak perlu repot-repot untuk memberi anak itu makan, minum, dan tempat tinggal.

"Persiapkan semua alat-alat yang kuperlukan untuk menyiksa dan mencabut nyawa anak sialan itu," perintah Zen.

"Secepatnya, tuan."

•••

"Jadi gimana?" Zen bertanya.

"Kami sudah menyiapkan semua yang anda perlukan, tuan," jawab salah satu di antaranya.

"Tuan, apakah anda ingin membunuhnya di gubuk itu?" Salah satu dari yang lain bertanya.

Zen berdecak sebal mendnegar pertanyaan bawahannya ini. Tolol atau entah gimana. "Terus lo mau dimana, heh?"

"Bagaimana jika di ruangan lain, setidaknya cukup kita saja yang tau."

"Benar, itu akan lebih baik. Kita harus waspada, tuan. Apalagi pekerja di mansion anda sangatlah banyak," kata pria yang satu lagi memberikan pendapat.

"Biar gue pikirin," Zen teringat sesuatu dan kembali berucap, "Pastiin juga kalau ada informasi terbaru tentang mereka."

Fyi, yang mengetahui rencana pembunuhan Zen hanyalah orang-orang kepercayaannya saja dan bisa di hitung dengan jari. Memang semua pekerja disana tahu bahwa Zen selalu menyiksa Rey, tapi untuk yang ini hanya beberapa antek-anteknya saja yang tahu. Karena Zen tahu pekerja-pekerjanya yang lain sangat membencinya. Tapi ia adalah Zen, si tak punya hati, tentu saja ia masa bodoh dengan hal itu.

Kalau sekali tak punya hati, seterusnya pasti akan begitu juga, batin seseorang yang kini diam-diam sembunyi dan mendengarkan percakapan atasannya yang tak seharusnya ia dengar.

•••

Rey baru saja selesai membersihkan dirinya. Hari sudah semakin gelap. Ia berencana akan menyicil sedikit materi pelajarannya lalu masuk ke alam mimpi. Tapi sepertinya rencana itu tidak akan terwujud setelah ia mendengar suara derap langkah kaki beberapa orang.

She Gave My World Colour: ReySanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang