Dilema Hati

2.1K 25 0
                                    

Lima tahun yang lalu, seorang laki-laki tampan berambut ikal, meminta sang kekasih  untuk sabar menunggu kepulangannya. Ia berjanji akan selalu memberi kabar selama menuntut ilmu di negeri Jiran. 


Awal tahun pertama mereka terpisah jarak, hubungan tetap terjalin hangat melalui  ponsel. Di penghujung pekan mereka menghabiskan waktu dengan berbagi cerita, menceritakan perihal apa saja. Rasanya waktu cepat berlalu saat akan menutup pembicaraan oleh kantuk yang menyerang di dini hari. 


“Udah sering nguap kedengarannya, pasti udah ngantuk. Kita sambung besok ya, Sayang,” ucap lelaki itu dari seberang.


“Iya, tapi janji ya, nelpon lagi,” sahutnya manja pada sang kekasih. 


“Iya, Sayang, sekarang kita tidur, ya. I love you, my honey”


“Love you too.” Akhirnya pembicaraan pun terputus seiring ditutupnya telepon. 


Kisah cinta jarak jauh itu selalu menumbuhkan benih kerinduan, dan rasa itu akan  terobati saat suara sang kekasih telah terdengar, walau hanya melalaui ponsel. 


Namun, benih rindu yang telah berubah menjadi bunga mekar, akhirnya layu seiring berjalannya waktu. Suara lelaki itu tak pernah lagi didengarnya, bahkan sapaan lembut pun tak ada lagi. Dia bagai ditelan bumi, tiada kabar berita. Pembicaraan waktu itu, merupakan terakhir kalinya mereka mengucap sapaan manja.


***


Hari ini gadis yang selalu menunggu sang kekasih itu, terpaksa mengakhiri penantiannya. Penantian yang sudah terlewat waktu. Tujuh tahun sudah penantian, tetapi yang diharapkan tak pernah datang, jangankan datang untuk menemui, kabar pun tak pernah ada. Impian untuk hidup bersama akhirnya kandas, dan sekarang ia harus menerima perjodohan dengan anak teman ibunya.


“Maafkan kami berdua, Sayang , bukan kami tak peduli dengan perasaanmu, tapi rasanya sudah cukup penantianmu.” 


“Mama dan Papa tak perlu meminta maaf, memang tak mudah rasanya menerima perjodohan ini, tapi aku ikhlas. Untuk apa juga menunggu seseorang yang sudah tidak ada kabar berita lagi.” Tatapannya kosong melihat ke jendela. “Mungkin sekarang dia telah bahagia hidup bersama perempuan lain di negeri Jiran sana, Ma.” Gadis itu berusaha terlihat tegar di depan kedua orang tuanya, walau di hati remuk redam.


“Terima kasih, Sayang, kamu sudah bisa  berpikir dewasa dan mengambil keputusan yang benar. Mama bangga padamu sekarang, sudah bisa bangkit dari keterpurukan  hatimu.” Perempuan itu tersenyum memeluk putri semata wayangnya.


“Ya, Ma, aku juga berterima kasih sama Mama dan Papa,” sahutnya tersenyum, walau di hatinya masih terasa getir. 


Saat malam telah sunyi, ia keluarkan sebuah kotak dari lemari pakaian, dan meletakkannya di atas  kasur. Album kenangan itu dikeluarkannya lagi. Semua kenangan kisah kasih saat SMA dulu  hadir kembali. Cinta putih abu-abu yang akhirnya terpisah jarak dan waktu.

Pernikahan Tanpa Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang