Kerisuhan di Pemakaman

421 18 0
                                    

Paginya kediaman Santi Wulandari dipenuhi oleh keluarga dan tetangga serta kaum kerabat yang melayat. Wanita itu begitu kehilangan perempuan yang sangat dicintai dan dihormatinya. Perempuan yang telah melahirkan dan membesarkannya dengan kasih sayang, yang mengantarkannya jadi sarjana, dan menjadi pendidik di Sekolah Menengah Atas.

“Maafkan Santi, Ma. Santi belum sempat membahagiakan Mama, tapi Mama keburu pergi,” ucapnya lirih.

“Sudahlah, Dek. Ikhlaskan kepergian Mama, supaya mama pergi dengan tenang meninggalkan kita.” Laki-laki itu selalu menguatkan istrinya.

Para pelayat tak henti-hentinya datang silih berganti mengucapkan belasungkawa.

Di kompleks tempat tinggalnya, keluarga itu memang dikenal ramah dengan siapa saja. Saat mereka berduka, semua warga seakan ikut merasakan dan peduli. Belum lagi pelayat yang datang dari sekolah tempat Santi mengajar, juga pelayat dari kantor sang suami. Semua ikut merasakan berduka.

Setelah di salatkan, jenazah dibawa ke pemakaman umum. Saat jenazah dimasukkan ke liang lahad, wanita muda itu kembali pingsan. Untung saja sang suami selalu ada di sampingnya, dan menahan tubuh itu supaya tidak jatuh.

Beberapa saat kemudian, ia kembali siuman. Setelah para pelayat pulang, wanita itu masih saja tertunduk dan berlutut di hadapan pusara sang ibu. Air matanya terus menganak sungai. Ia tak ingin meninggalkan sang ibu di sana sendirian.

“Sudahlah, Dek, jangan terlalu larut dalam kesedihan. Kasihan dengan Papa, dari semalam beliau tidak tidur.
Sekarang kita pulang ya, supaya Papa dan kamu bisa istirahat di rumah. Sekarang Mama sudah tenang, jangan sampai kamu dan Papa nanti sakit.”

Laki-laki itu memapah istrinya untuk berdiri.

“Pak Adrian, Mbak Santi, saya turut berduka cita atas kepergian ibu. Semoga almarhumah ibu diberikan tempat terbaik di sisi-Nya, Mbak yang tabah ya,” ucap laki-laki  berkaca mata itu.

Sengaja ia memanggil mbak pada mantan kekasihnya, karena sekarang wanita itu sudah menjadi istri rekan kerjanya.

“Saya tak butuh ucapan bela sungkawa dari anda, Pak Bramustio yang terhormat! Sekarang silakan pergi dari sini, karena Anda lah penyebab kematian Mama saya. Jangan pernah hadir lagi di hadapan saya."

Kemarahan yang sangat terlihat di wajah perempuan itu.

"Pergiii!"

Dengan sekuat tenaga dan penuh kemarahan wanita itu mendorong laki-laki yang ada di hadapannya. Ia memukuli dada bidang laki-laki itu. Sang suami berusaha menahan istrinya. Namun, wanita itu tidak bisa dicegah. Ia seperti orang kerasukan, mendorong dan memukuli laki-laki di hadapannya.

Beberapa saat kemudian,

“Jangan da,ta,ng la ....” Suara itu melemah dan ia kembali pingsan.

Laki-laki itu secepatnya menahan tubuh wanita itu.

“Maafkan saya, Mbak, saya ....”

“Sudahlah, Pak Bram, biarkan saya menggotong istri saya, lebih baik kita semua pulang.”

“Baik, Pak. Maafkan saya atas kejadian barusan, saya tidak tahu kalau akan jadi begini.”

Laki-laki itu menjejali langkah rekan kerjanya itu.

“Saya juga minta maaf, Pak Bram, dan saya minta tolong, Pak Bram tetap menghandel pekerjaan kantor, selama saya masih cuti.

“Baik, Pak,” lalu ia membukakan pintu mobil laki-laki itu. Wanita itu masih terlihat belum sadarkan diri.

“Apa tidak sebaiknya mbak Santi kita bawa ke rumah sakit, Pak?” ucapnya cemas.

“Sudahlah, biarkan saya yang mengurus dan kamu sebaiknya kembali ke kantor.

“Baik, kalau begitu saya akan kembali ke kantor. Permisi, Pak Adrian, semuanya, saya duluan. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam ...."

Kemudian laki-laki itu berlalu dari hadapan rekannya dan pelayat lain, lalu menuju mobil dan kembali ke kantor.

“Semoga kamu tidak kenapa-kenapa sayang,” ucapnya lirih.

Wajah wanita itu kembali hadir. Wajah yang menyiratkan kekecewaan dan kemarahan.

“Kenapa kamu marah dan menuduhku sebagai pembunuh Ibumu, Santi. Padahal aku datang baik-baik, tanpa membuat rusuh di pemakaman ibumu. Ada apa denganmu, kenapa kamu jauh berubah. Aku seperti tidak mengenal dirimu lagi."

Terlihat kekecewaan di wajahnya.

"Padahal ... dulu waktu kita akan berpisah, kamu enggan melepas pelukan kita. Sekarang malah membenci. Seharusnya aku yang marah sama kamu. Kenapa kamu menikah dengan dia.”

Laki-laki itu membuang napas dengan kasar, lalu menghentikan mobil di tempat parkir kantor.

Setelah berada dalam ruangannya, dia masih memikirkan kejadian di pemakaman.

“Kenapa dia berpikir kalau aku penyebab kematian ibunya? Padahal aku tidak pernah berbuat apa-apa. Ke pesta pernikahan pun aku datang baik-baik dan berusaha meredam amarah saat tahu yang menjadi istri rekan kerjaku adalah dia. Mengapa dia begitu benci padaku”

Dipandangnya lukisan yang terpampang di dinding kantor sambil menyandarkan kepala ke kursi.

Kemudian ia mengambil map yang ada di atas meja dan membukanya, tapi pikirannya masih tidak bisa fokus pada pekerjaan kantor. Wajah itu kembali hadir.

“Apa mungkin ia kecewa dan menganggap aku telah mengkhianatinya? Ya ... dia pasti kecewa karena aku membawa Salsa ke pesta pernikahan itu."

"Sial, kenapa aku jadi sebodoh itu.” ujarnya,  “kenapa aku tidak meminta bi Inah untuk telat pulang supaya bisa menjaga Salsa sampai aku pulang saat itu ya, tapi mana aku tahu, kalau yang nikah itu kamu, Santi!  Aku hanya menghadiri pesta pernikahan rekan kerjaku.

“Ahh....Sebaiknya aku keluar untuk makan siang, kalau tetap di sini bisa hancur berantakan ruanganku.”

Ia segera berlalu dan pergi makan siang.

Sambil menunggu makanan datang. Ingatannya kembali pada mantan kekasihnya.

Aku harus bisa menemuinya dan bicara padanya, dia harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi selama ini padaku. Jangan sampai dia menganggap kekasihnya ini telah mengkhianati cintanya. Aku harus mencari cara supaya bisa menemuinya.

“Silakan, Pak.” Suara pelayan restoran itu menyadarkannya dari lamunan.

“Eh, iya. Terima kasih ya, Mbak!” sahutnya.

Ia pun membalas senyuman pelayan restoran dengan anggukan dan sedikit senyuman. Pelayan itu kemudian menunduk minta permisi dan meninggalkannya.

Setelah pelayan berlalu, ia menikmati makan siangnya sambil memikirkan cara untuk bisa menemui mantan kekasihnya.

“Aku harus bisa menemuinya secepatnya."

Ia pun menyantap  makan siangnya kembali.

Bersambung ....

Kira-kira bisa nggak ya, Bram menemui Santi Wulandari mantan kekasihnya?

Jangan sampai penasaran. Yuk ikuti terus.

Jangan lupa dukungannya ....
Salam hangat selalu dari author.

Pernikahan Tanpa Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang