Duka Pengantin Baru

575 22 0
                                    

Sebelum baca part ini silakan sediakan tisue dulu ya ....
=========================

Setelah merebahkan tubuh di atas ranjang pengantin, perempuan itu masih saja tidak bisa memejamkan mata, terkadang tubuhnya miring ke kanan, kadang ke kiri, sesekali menengadah menatap langit-langit kamar. Ia bergolek dalam resah dan amarah.

Selang beberapa waktu, mata itu tetap tak mau terpejam. Tak lama kemudian ia duduk dan bersandar ke kepala tempat tidur sambil melihat ke samping, sang suami terlihat lelap. Wajah itu terlihat tenang, kalau diperhatikan ia tak kalah tampan dari sang mantan.

Ditariknya napas dalam-dalam, lalu membuangnya dengan kasar, seolah ingin membuang beban teramat berat yang menindih dadanya.

Kemudian menangkupkan kepalanya di atas lutut. Air mata pun tak bisa lagi dibendung oleh kelopak mata indah itu. Bahunya berguncang karena menahan tangisan lara. Hatinya masih tidak bisa menerima kenyataan tadi siang.

“Kenapa belum tidur, Sayang.”

Terdengar suara seiring rangkulan tangan perkasa di bahunya. Dipalingkannya wajahnya ke sumber suara, terlihat lelaki halalnya menatap memberikan ketenangan padanya.

“Eh, Mas. Aku mengganggu tidur Mas ya!” ucapnya sendu dengan sisa air mata di pipi.

“Enggak, Mas dari tadi belum tidur kok. Kenapa resah dan masih menangis? kalau ada masalah dan beban yang mengganggu pikiran, ceritakan saja.”

Semakin kuat wanita itu didekapnya untuk memberikan kenyamanan.

Kemudian ia kembali lagi menatap sang istri. “Kita suami istri itu, harus saling berbagi, apa pun itu. Supaya beban tidak terasa berat, dan kita bisa saling menguatkan.”

Kata-kata lembut dan belaian di kepalanya membuatnya sedikit tenang. Namun, getaran cinta itu tidak bisa hadir di hatinya. Entah karena kebencian pada sang mantan, atau masih ada cinta pada sang pemberi janji di bilik hatinya.

“Benaran, Mas mau mendengarkan keluh kesahku?” Kembali ia memperhatikan wajah sang suami.

Lelaki halalnya membalas dengan anggukan dan senyuman, lalu merangkul kembali tubuh itu.

Kehangatan rangkulan itu menghadirkan kekuatan padanya untuk mengurai kata-kata yang tertahan.

“A, aku, tak bisa melupakan kejadian tadi siang, Mas. Aku kecewa sama dia.” Mata itu kembali berkaca-kaca. “Kenapa dia tega mengkhianatiku? Kalau memang dia sudah tak cinta, kenapa dia tidak memutuskan saja. Aku pasti bisa menerima keputusannya kok. Kenapa dia malah membiarkanku menunggu dalam ke tidak pastian dan kembali hadir di hadapanku dengan menggoreskan luka.” Suaranya parau dan ia kembali sesenggukan.

“Setiap goresan luka memang menghadirkan kecewa, dan kecewa itu akan terasa saat kita tidak bisa menerima kenyataan. Setiap orang pasti pernah merasakan itu, tapi dalam bentuk yang berbeda.”

Beberapa saat berlalu mereka terdiam.

“Apa, Mas juga pernah kecewa?” Ia menengadah melihat pada sang suami.

“Ya, itu dulu. Saat harus kehilangan wanita yang Mas cintai, Mas kecewa dengan si pembuat takdir. Ia mengambil wanita yang sangat Mas cintai untuk selama-lamanya.

Bertahun-tahun Mas larut dalam kekecewaan. Sampai suatu saat seorang sahabat menyadarkan, kalau hidup harus dijalani, bukan diratapi atau dirutuki, dan masih ada kata-kata sahabat Mas satu lagi yang sampai sekarang masih Mas ingat.”

“Apa kata-katanya yang bisa membuat Mas bangkit?”

"Waktu itu ia berkata seperti ini.

Kalau lu mau bunuh diri dengan menunggu kereta di rel ini, atau mau terjun ke sungai di bawah ini silakan, atau mungkin mau menabrakkan diri ke kendaraan yang lalu lalang di jalan raya itu ... silakan, gue nggak akan ngelarang,  tapi satu hal yang harus lu ingat, masih ada satu perempuan yang sangat mencintai lu, yaitu Ma- ma- lu.

Pernikahan Tanpa Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang