Tabir yang Tersingkap

409 11 0
                                    

Dengan berakhirnya masa cuti, mereka harus kembali bekerja seperti biasa. Walaupun hati pengantin wanita masih dirundung duka. Namun, dia tidak bisa meninggalkan pekerjaan begitu saja, sekali pun yang punya yayasan adalah orang tuanya, tepatnya almarhumah sang ibu.

Setelah sarapan, keduanya berpamitan pada sang ayah.

“Pa, aku berangkat ke kantor dulu,” ucapnya pada sang mertua.

Pakaiannya telah lengkap dengan setelan jas.

“Aku juga ke sekolah dulu, Papa baik -baik di rumah ya, Pa!”

“Iya, Papa nggak akan kenapa-kenapa di rumah, kan ada mang Ujang juga. Kalian hati-hati ya!”

“Iya, Pa.” Setelah berpamitan mereka segera ke garasi.

Sebelum masuk ke mobilnya, wanita itu pun berpamitan pada sang suami.

“Aku berangkat ya, Mas.” Ia mencium punggung tangan sang suami.

“Iya, hati-hati ya, Sayang, kalau ada apa-apa hubungi mas ya!” Ia mengecup kening sang istri.

“Mas, juga hati-hati ya.” Ia kemudian masuk mobilnya.

Pagar besi itu kemudian dibuka oleh mang Ujang, tukang kebun di rumah mereka.

“Makasih ya, Mang,” ucapnya pada tukang kebunnya itu sambil tersenyum. Laki-laki yang telah lama bekerja pada keluarganya,  sudah seperti keluarga sendiri.

“Hati-hati ya, Non,” sahut laki-laki berkulit legam itu sambil membungkukkan badannya.

“Ia, Mang, aku berangkat dulu.”

Kemudian keduanya melajukan mobil ke tempat kerja masing-masing.

Setelah sampai di sekolah. Wanita yang telah berubah status itu memarkirkan kendaraannya di tempat biasa, lalu berjalan menuju ruang guru gedung SMA.

Yayasan itu mempunyai dua gedung tingkat tiga dan dua  tingkat dua. Dua gedung tingkat tiga itu untuk SMP dan SMA, sedangkan yang tingkat dua untuk TK dan SD.

Sebelum langkahnya menjauh dari area parkir. Langkah itu seketika berhenti.

“Tante!”

Ada suara dan tangan mungil yang menahannya. Ia memalingkan wajah pada sumber suara.

“Eh, kamu cantik, ternyata sekolah di sini juga, Sayang?”

Terlihat gadis kecil yang datang ke pestanya waktu itu. Ia menggunakan seragam TK. Wanita itu berusaha ramah pada gadis cilik itu, walaupun saat melihat gadis itu hatinya terasa sakit. Namun, didikan dari sang ibu semasa hidupnya, membuat ia jadi wanita yang selalu kelihatan ramah.

“Pagi, Santi,” sapa laki-laki berdasi yang berdiri di samping gadis cilik itu.

Senyum mengembang di bibirnya.

“Kenapa Papa nggak manggil, Mbak?” tanya gadis kecil itu pada sang ayah.

“Papa manggil mbak, kok. Mungkin nggak kedengaran sama Salsa,” sahut laki-laki itu bohong. “Kalau dijelaskan pasti panjang ceritanya. Gadis cilikku kan, pintar,” pikirnya.

“Sekarang kamu ke kelas ya, Sayang.

“Maaf, saya juga harus pergi, permisi,” ucap wanita itu.

Ia segera berlalu menjauh, tapi sebelum kakinya melangkah, tangannya kembali ditahan gadis cilik itu.

“Salsa belum salim sama, Tante.”

Ia mencium tangan itu dan berpamitan.

“O iya. Sekarang kamu ke kelas ya, Sayang.”

“Iya, tante. Pa, aku ke kelas dulu.”
Gadis itu pun berpamitan pada sang ayah dan mencium tangannya.

Pernikahan Tanpa Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang