Keputusan Seorang Bramustio

245 11 1
                                    

“Salsa, kamu baik-baik belajarnya ya! Sekarang salim dulu sama papa sebelum turun.” Ia menyodorkan tangannya pada gadis ciliknya.

“Kok, Papa, nggak turun?” Ia bertanya dengan sedikit merajuk. Bibir mungilnya yang tipis di monyongkannya.

“Anak papa, kan, udah besar dan pintar, jadi harus berani ya Sayang.” Ia membelai kepala gadis bermata sipit itu sambil tersenyum.

“Iya, Pa. Salsa sekolah dulu ya!” Ia kemudian pamit sambil mencium tangan ayahnya, laki-laki itu kemudian memberikan ciuman pada kening gadis ciliknya, lalu gadis itu keluar dari mobil.

Baru beberapa langkah, gadis cilik itu melihat wanita yang selalu disapanya tiap pagi. Kaki kecilnya berlari menuju wanita itu. “Tante kok baru datang?” Ia bertanya pada perempuan di hadapannya sambil bergelayut manja ke tangan wanita cantik itu.

“Iya, tante tadi ada sedikit pekerjaan yang harus tante selesaikan dulu, baru deh ke sekolah,” sahutnya tersenyum. “Sekarang kamu ke kelas ya!”

“Iya, Tante, tapi boleh nggak Salsa minta sesuatu sama tante?” Gadis itu menatap netra wanita cantik itu penuh harap.

“Kamu minta apa, Sayang.” Ia heran dengan gadis cilik di hadapannya, tidak biasanya ia seperti itu.

“Salsa pengen dipeluk dan dicium tante, Salsa pengen seperti teman-teman Salsa yang selalu di peluk dan di cium mama mereka sebelum masuk kelas.

Wanita itu terpaku mendengar kata-kata gadis cilik yang menatapnya.

“Tante mau, kan!” Gadis itu menggoyang tangan perempuan yang  dipegangnya.

“Eh, iya sayang.” Ia mencium dan memeluk gadis itu. 'Ke mana Mamamu, Nak? Kenapa kamu nggak pernah merasakan pelukkan dan ciuman dari mamamu. Apakah ia ...,' batinnya.

“Terima kasih ya, Tante. Udah mau peluk dan cium, Salsa ke kelas dulu ya.”

Gadis itu pamit sambil mencium tangan wanita itu

“I, ya, Sayang.” Ia membelai kepala gadis cilik itu, lalu gadis itu berlari menuju kelas dengan tersenyum bahagia meninggalkannya.

'Ada apa dengannya ya, kok tumben ia seperti ini. Apakah ibunya tidak memedulikannya? atau ibunya sudah meninggal.' Bel tanda masuk membuyarkan lamunannya. Ia pun melangkah menuju kelas.

***

“Mulai sekarang aku harus menjauh darimu, Sayang. Aku nggak mau kamu diperlakukan kasar oleh suamimu atas kecemburuannya padaku. Biarlah rasa yang pernah ada aku pendam selamanya. Demi kebahagiaanmu.” Setelah sampai di kantor, Ia segera menuju ruang rekan kerjanya, dan memberikan surat pengunduran diri.

“Jadi kamu ingin keluar dari perusahaan ini, tanpa memberitahu sebelumnya? Kamu nggak bisa seenaknya, Bram!" Suara laki-laki itu meninggi. "Mengajukan surat pengunduran diri dan langsung keluar. Kamu kira mudah mencari orang untuk menggantikan posisimu.”

“Soal itu aku sudah menyiapkan pengganti yang lebih baik dariku. Sebentar lagi dia datang.”

'Bagus kalau kamu memang keluar dari perusahaan ini, jadi aku nggak perlu menyingkirkanmu, kamu sendiri yang keluar, aku berharap kamu pindah dari kota ini,' batinnya.

Beberapa detik kemudian seseorang datang bersama seorang sekretaris. Setelah memperkenalkan tamunya, sekretaris itu kembali ke ruangannya.

“O ya, pak Adrian, ini pak Aditya yang saya katakan tadi, beliau yang akan menggantikan posisi saya.” Laki-laki itu memperkenalkan calon pengganti yang akan menggantikannya.

Setelah lama berbincang-bincang, ia segera undur diri dan keluar dari perusahaan.

Sebenarnya tiga hari sebelum ia mengundurkan diri, Ia telah menghubungi sahabatnya yang akan menggantikan posisinya. Setelah mendapat jawaban dari sahabatnya, barulah pagi ini ia memberikan surat pengunduran diri.

Ia telah memutuskan, kalau ia akan menjauh dari kehidupan mantan kekasihnya. Rasa cinta yang begitu dalam, membuatnya harus memilih langkah itu. Ia tak ingin wanita yang ia cintai menderita.

Apalagi setelah mendengar curhatan wanita itu di pusara ibunya empat hari yang lalu, semalaman ia tak bisa tidur memikirkannya. Ia harus mempertimbangkan banyak hal, jika ia tetap pada egonya, kemungkinan besar wanita yang dicintainya akan menderita karena kecemburuan suaminya, dan ia tidak mau hal itu terjadi. Jadi ia memilih untuk pindah ke kota lain dan pagi ini surat pengunduran diri itu ia berikan.

“Sebaiknya sekarang aku ke sekolah Salsa,” ucapnya kemudian. Ia pun beranjak keluar dari kantor itu.

Setelah sampai di sekolahan ,Ia segera mengurus kepindahan putrinya. Setelah putrinya berpamitan sama guru dan teman-temannya, mereka pergi meninggalkan area sekolahan itu.

“Papa kenapa jemput Salsa, biasanya Salsa pulang sama mobil sekolah.” Gadis itu bertanya pada sang ayah, karena tidak biasanya ia dijemput oleh ayahnya.

“Karena Salsa mau pindah sekolah, makanya papa harus ke sekolah untuk urus surat pindah, sekalian jemput Salsa, Sayang.”

“Kenapa harus pindah sih, Pa. Di sini, kan, bagus, ada tante cantik yang baik lagi. Salsa maunya ketemu tante cantik terus. O ya, Pa. Tadi sebelum masuk kelas, Salsa minta tante cantik untuk meluk Salsa, dan tante cantik mau, Pa. Senang deh, Pa, dipeluk tante cantik,” celoteh gadis itu girang.

Ia tersenyum melihat putrinya yang begitu semangat bercerita tentang tante cantiknya, sesekali ia melihat jalanan di depannya.

'Sebenarnya papa juga ingin dekat dengan tante cantikmu, Nak, malah lebih dari itu, tapi semua itu tak mungkin, karena papa nggak mau tante cantikmu menderita karena papa.' Ia pun menghentikan mobil di depan pintu pagar, sambil membunyikan klakson.

Si bibi yang lagi berada dalam rumah, segera keluar mendengar suara mobil tuannya, lalu membukakan pintu pagar.

“Kenapa Aden pulang cepat ya?” ucapnya. Ia heran melihat majikannya pulang cepat tidak seperti biasanya. Setelah menutup pintu pagar, ia kembali masuk ke dalam rumah.

“Bi, tolong masukkan pakaian Salsa kedalam koper, ya. Kopernya sudah ada di kamar,  setelah itu tolong bantu saya mengepak barang lainnya..”

“Emangnya Aden mau pindah ya?” si bibi heran mendengar majikannya memintanya untuk mengepak barang-barang.

“Iya, Bi. Saya mau pindah kerja, jadi saya juga harus pindah dari sini,” sahut sang majikan.

“Kenapa pindah sih, Pa? Tadi pertanyaan Salsa belum papa jawab,” celoteh gadis ciliknya yang masih berseragam sekolah.

“Karena Papa mau pindah kerja, Sayang, di sana sekolahnya juga bagus kok.” Sahutnya, “ Sekarang Salsa ganti seragam dulu ya.” ucapnya kemudian.

Gadis cilik itu segera berlari ke kamar untuk mengganti seragamnya. 

Ia pun beranjak  masuk kamar untuk mengganti pakaia. Den, sebelumnya bibi minta maaf, bibi mau nanya, boleh Den?” Pertanyaan perempuan itu menghentikan langkanya.

“Boleh lah, Bi. Memangnya bibi mau nanya apa?” Ia membalikkan badannya melihat pada si bibi.

“Kenapa Den pindahnya kok mendadak seperti ini, tapi maaf ya, Den. Bibi nggak bermaksud apa-apa.” Wanita itu tertunduk, Ia takut kalau pertanyaannya membuat sang majikan tersinggung.

Laki-laki itu menatap si bibi. “Sebenarnya bukan mendadak, Bi, cuma saya telat ngasih tahu bibi.” Ia tertawa melihat si Bibi. “ Bibi nggak usah cemas begitu, saya nggak mau makan bibi kok.” Ia tersenyum pada perempuan yang telah ia anggap keluarga itu.

“Sekarang saya ke kamar dulu ya, Bi. Mau membereskan pakaian saya ke dalam koper,” Ia kemudian masuk ke dalam kamar dan berganti pakaian.

Kemudian pakaian yang ada dalam lemari pakaian ia pindahkan satu persatu ke dalam koper. Wajah mantan kekasihnya kembali hadir di pelupuk matanya.

“Ternyata benar apa yang dikatakan orang-orang tentang cinta sejati. Sekarang aku baru menyadarinya, cinta sejati tak harus memiliki," ucapnya. "Aku rela kamu hidup bersamanya, Sayang, itu salah satu caraku membahagiakanmu, aku nggak mau kamu menderita karena aku. Semoga kamu bahagia, Sayang! Mulai besok kita nggak akan bertemu lagi.” Kemudian ia menutup koper dan meletakkannya di samping lemari.

Bersambung

Apakah keputusan Bram akan membuat mereka terpisah? Penasaran ya ... ikuti terus ceritanya.

Jangan lupa kasih bintang dan komentarnya. Salam hangat selalu.

Pernikahan Tanpa Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang