Tujuh Bulan Kehamilan Santi Wulandari

750 14 0
                                    

Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya wanita itu mengambil keputusan kalau ia akan berhenti dari mengajar. Ia hanya akan mengelola yayasan milik almarhumah ibunya.



"Mas, Setelah aku pikir-pikir, apa yang dikatakan mama itu benar. Boleh nggak aku berhenti mengajar." Ia melirik sang suami yang lagi duduk di depan komputernya.



Sang suami menghentikan ketikan di keyboardnya, dan memutar duduk, ia mendongakkan kepala melihat pada sang istri yang sudah berdiri di sampingnya.



"Apa mas nggak salah dengar? Bukannya dua bulan yang lalu, kamu bilang sayang untuk melepas pekerjaanmu. Ini benaran, Sayang, dengan apa yang kamu katakan barusan," tanyanya pada sang istri.



Ia menelisik netra sang istri. Sang istri tersenyum sambil mengangguk.



"Benaran, suamiku sayang. Aku merasa nggak sanggup bolak-balik ke kelas yang berada di lantai dua, aku sering capek. Kandunganku sudah semakin membesar, fisikku juga tak sekuat orang lain yang lagi hamil.



"Kita duduk di sofa dulu." Ia membimbing sang istri menuju sofa yang tak jauh dari meja komputernya.



"Kalau gini kan enak." Ia duduk menghadap pada sang istri.



"Ia mas," ucapnya, kalau aku nggak kuat, nanti nggak bisa lahiran normal. Sekarang aku hanya ingin fokus pada calon anak kita," jelasnya. Ia kemudian mengelus perutnya yang buncit.



Sang suami memegang wajah sang istri dengan kedua telapak tangan dan menatapnya.



"Makasih ya, Sayang, sudah mau berkorban demi anak kita." Ia mengecup sang istri. "Semoga kamu tetap baik-baik di dalam ya, Sayang Papa." Kecupan pun diberikan pada perut sang istri. "Sudah semakin kuat gerakan anak papa, senang ya mendapat kecupan dari papa, atau mau ngajakin papa main sepak bola nih."Ia tersenyum membelai perut buncit itu.



Wanita itu tersenyum melihat sang suami yang begitu perhatian pada dirinya dan calon anak mereka yang masih dalam kandungan.



"Aku bahagia deh, Mas, dan bersyukur pada Allah karena telah diberikan suami yang baik, dengan kebaikan yang Mas berikan, bisa menumbuhkan rasa suka di hatiku," ucapnya.



"Hanya suka, belum cinta?" Ia mengerling nakal pada sang istri.



"Ee, Mas apaan sih," ucapnya manja.



"Iya, Mas juga bersyukur, istri mas sudah bisa menyukai suaminya sendiri. Suka kan bisa jadi cinta." Ia menoel dagu sang istri.



"O ya, Mas, aku juga sangaat senang. Kandunganku sudah tujuh bulan dan anak kita sehat. Sebentar lagi kita sudah bisa jadi ayah dan ibu," ucapnya tersenyum bahagia.



"Mas juga nggak sabar, hadirnya bayi di tengah-tengah keluarga kita."



Semoga keluarga kita jadi keluarga yang selalu dilimpahkan keberkahan dan SAMAWA sampai Janah ya, Mas."



"Iya, Sayang. Aamiin.



"O ya, Mas, aku tidur duluan ya, kalau aku masih di sini, nggak kelar-kelar kerjaan Mas."



"Iya, Sayang. Makasih ya. Mas sebentar lagi nyusul," sahutnya. Kamu duluan istirahat sama mama ya sayang, bentar lagi papa temani tidur." Ia pun membelai perut sang istri lalu memberikan kecupan pada sang istri.



"Tunggu Mas di kamar ya. Sebentar lagi kelar, atau ...."



"Atau apa, Mas." Ia menelisik netra suami.



"Atau ...." Ia segera menuju komputer dan mematikannya.



"Atau kamu mau digendong mas." Ia langsung menggendong sang istri.

Pernikahan Tanpa Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang