Suasana Berkabung

391 14 0
                                    

Sang suami melajukan mobil menjauh dari pemakaman, sedangkan ibu mertuanya berusaha membangunkan menantu satu-satunya yang duduk di sampingnya.

“Santi, bangun sayang, Mama nggak mau kamu kenapa-kenapa, Nak!” ucapnya.

Tidak berapa lama, menantu perempuannya siuman dari pingsannya. Wanita itu kelihatan lemah tak berdaya, karena tenaganya telah terkuras waktu menumpahkan amarah pada sang mantan di pusara tadi.

“Alhamdulillah, kamu sudah siuman, Sayang.”

Ia sandarkan kepala wanita itu ke bahunya sambil memeluknya.

“Alhamdulillah, kamu udah sadar, Dek. Sekarang kita langsung pulang ke rumah ya!”

Sang suami melihat ke belakang setelah tahu istrinya telah siuman.

Ayah wanita itu juga kelihatan lega dan bersyukur. Tadinya ia begitu risau melihat keadaan anak semata wayangnya itu. Hanya dia satu-satunya yang ia miliki saat ini.

Setelah sampai di rumah, wanita lemah itu kembali menumpahkan air mata yang tak terbendung. Laki-laki berkemeja hitam itu menggandeng sang istri masuk kamar, supaya bisa istirahat, dan tubuh wanita itu ia baringkan.

“Kamu yang sabar, Sayang. Siapapun pasti akan merasakan kesedihan  bila kehilangan orang yang dicintai, apalagi itu adalah ibu kandung yang melahirkan kita, tapi kamu tak boleh larut dalam kesedihan!”

Ia memberikan kecupan pada sang istri. “Sekarang Mas mau bikin teh hangat dulu untuk kamu, Mas tinggal sebentar.”

Baru saja ia hendak berdiri, sang ibu sudah berada di depan pintu sambil membawa teh hangat.

“Biarkan Mama yang menemani istrimu, lebih baik kamu menemani para pelayat yang baru datang melayat,” ucap perempuan itu pada anaknya.

“Diminum dulu teh nya, Nak. Supaya kamu lebih baik. Perempuan itu menyodorkan cangkir yang berisi teh hangat pada menantunya.

“Makasih ya, Ma. Santi jadi merepotkan semua orang.”

Ia mengambil cangkir yang diberikan ibu mertuanya.

“Nggak boleh menyalahkan diri sendiri. Semua ini sudah kehendak-Nya. Lebih baik kamu istirahat lagi ya, supaya tenagamu kembali pulih.” Ditatapnya anak sahabatnya itu penuh kasih.

“Iya, Ma, makasih, Santi mau sholat dulu, setelah itu baru istirahat,” sahutnya.

“Mama juga mau sholat, kalau begitu Mama keluar dulu, ya.”

“Iya, Ma, Santi ke kamar mandi dulu." Ia melangkah menuju kamar mandi.

Setelah menyelesaikan sholat dan mendoakan sang ibu, ia merebahkan kembali tubuhnya di atas ranjang.

Saat suara azan berkumandang dari corong masjid kompleks, perempuan itu terbangun dari tidurnya, rupanya tadi ia tertidur karena dari semalam ia tidak tidur sepicing pun.

Suara Azan yang begitu indah meresap ke hatinya. Air mata kembali membasahi kedua pipi wanita itu. Ingatan bersama perempuan yang selalu menemani hidupnya kembali hadir.

“Ma, Mama yang tenang di sana ya. Santi akan jaga Papa, dan akan memenuhi janji untuk Mama agar Mama bahagia di sana,” ucapnya lirih.

Ia mengambil tisu di atas meja samping tempat tidur, lalu menghapus air matanya, lalu beranjak ke kamar mandi, untuk membersihkan diri.

Setelah selesai, ia keluar dari kamar mandi dan mengerjakan salat memenuhi kewajibannya sebagai muslimah. Air mata tak bisa berhenti mengalir dari kedua mata itu, hingga ia selesai salat dan berdoa.

“Aku harus bisa ikhlas, supaya Mama bisa tenang di sana." Kemudian ia meletakkan mukena pada tempatnya kembali dan berlalu ke luar kamar.

“Kamu sudah bangun! lebih baik sekarang makan dulu ya, Nak, dari pagi kamu belum makan.”

“Aku hanya mau minum, Ma. O ya, Ma, Mas Adrian kemana? Kok nggak kelihatan.”

“Adrian suamimu pergi ke masjid. Kamu makan ya. Nanti kamu sakit kalau nggak makan, Jangan diperturutkan, Sayang. Makan ya!”

Aku nggak lapar, Ma.” Digesernya kursi di samping meja makan, lalu ia duduk, sambil meminum air putih yang baru diambilnya.

“Mama benar, Dek. Kamu makan ya, biar Mas yang ambilkan.”

Sang suami telah berdiri di sampingnya.

“Nggak usah, Mas, sebentar lagi aku makan.”

Ia kembali meneguk air yang masih tersisa.

“Pokoknya kamu harus makan.” Sang suami segera mengambil nasi dan lauk serta sayur, lalu ia duduk di samping istrinya, "atau mau Mas suapin?”

“Nggak usah, Mas, biar aku sendiri, aku bisa kok.” 

Ia lalu mengambil sendok dan mulai menyuap makanan di hadapannya. Namun, makanan itu terasa hambar, kemudian ia hanya memperhatikan piring ada di depannya.

“Kenapa diam, Dek. Ayo dilanjutkan makannya.”

“Andai saja laki-laki itu tidak datang ke pesta pernikahan kita, mungkin Mama sekarang masih ada di sini.”

Ia masih menatap piring yang berisi nasi dan lauk yang ada di depannya.

“Kenapa kamu ngomong seperti itu, Sayang. Semua ini adalah kehendak-Nya.”

Sang suami membelai sang istri.

“Andai dia tak datang, pasti Mama tak akan berpikir panjang, dan penyakit Mama tak akan kambuh.”

Mata itu mulai berkaca-kaca menahan buliran yang akan tumpah.

“Kehadirannyalah yang membuat  Mama pergi untuk selamanya,” ucapnya lagi.

Buliran bening pun akhirnya tak dapat dibendung lagi, dan tumpah menganak sungai di kedua pipinya.

“Santi, dengarkan Papa, Nak.”

Laki-laki yang sedari tadi hanya diam menatap putrinya itu, angkat bicara.

“Kamu harus ingat, Nak. Semua kita di dunia ini, sudah ada jalan yang harus dilalui. Tidak ada satu orang pun yang bisa mengelak dari takdir. Bahkan kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi satu detik setelah ini. Kamu harus ikhlas menerima kenyataan ini. Jangan menyalahkan orang lain ya.”

Laki-laki itu berusaha menguatkan sang anak, supaya bisa menerima kenyataan.

“Ikhlaskan ya, Nak. Supaya Namamu tenang di alam sana. Nggak ada yang perlu disesali.”

“Ya, Pa. Aku akan berusaha ikhlas demi Mama, tapi aku tak mau melihat laki-laki itu lagi.”

Kebencian pada laki-laki masa lalunya masih terlihat dari sorotan matanya. Begitu besar kebenciannya pada sosok laki-laki masa lalunya itu.

“Aku mau ke kamar dulu, Ma, Pa.”

Kemudian ia pergi meninggalkan ayah dan ibu mertuanya, sedangkan sang suami mengikuti dari belakang.

Hatiku masih tak bisa memaafkanmu, Bramustio. Apa sebaiknya aku singkirkan saja dirimu untuk selamanya?

Bersambung.

Apakah kebenciannya itu akan membuatnya berbuat nekat?

Ikuti terus ceritanya.
Jangan lupa vote dan komennya.

Pernikahan Tanpa Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang