Dilema

157 38 2
                                    

Tok tok tok...

"Ela, bangun! Kau mau tidur sampai malam hari tanpa makan? Semua orang menunggumu dimeja makan. Segerahlah bangun!"

"IYA BIBIKU SAYANG!"

Ela segera beranjak dari ranjangnya dan mengganti bajunya. Dilemari itu masih tersisa baju bajunya dulu semasa gadis, tapi saat ini pun dia masih gadis? Tanpa mengingat ucapan bibinya, Ela memakai baju oversize dengan celana tidur mini, sejengkal diatas lututnya. Mencepol rambutnya yang menyisakan anak-anak rambut yang bebal. Tidak lupa lengan bajunya yang pendek , disingsingkan lagi hingga nyaris memperlihatkan ketiaknya yang mulus tanpa bulu dan bau tidak enak. Ela termasuk perempuan yang peduli dengan bau badan, saat ini aromanya persis seperti bayi yang baru dimandikan. Walau diperjalanan panjang tadi ia berkeringat,diterpa debu dan asap, aromanya tetap memikat.

Dengan langkah malas Ela menuju meja makan. Langkahnya terhenti, menatap terkejut orang orang didepannya. Mereka yang dimeja makan pun terpana melihat penampilan orang yang sedari tadi mereka tunggu, sungguh cantik dan polos.

"E-ela, ada apa dengan bajumu sekarang? Hhh, duduklah kami sudah lama menunggu!"

"I-iya Bi"

Ela duduk disamping adiknya, Joshua. Joshua baru balik dari penyelidikannya tadi.

"Josh, mengapa mereka disini?"

Merasa malu dengan penampilannya sekarang, Ela sekarang dihadapkan dengan orang orang terpandang dinegaranya, Keluarga Ganendra.
Christ,Sarah dan Ian duduk bersebrangan dengan Namira, Joshua ,Ela dan Monica. Keheningan menerpa ruangan itu dengan tatapan semua mengarah ke Ela, kecuali Ian yang fokus dengan ponselnya.
Ingin rasanya masuk kelubang semut, batin Ela.

"Bagaimana keadaanmu sekarang Ela?"
Suara Christ memecah keheningan.

"Baik Om"

Suasana kembali hening...

"Hmm, Namira,kami langsung to the point aja, maksud kedatangan kami sekeluarga disini adalah untuk meminang Ela menjadi menantu kami, Surat perceraian Ela dan Ben akan kami urus secepatnya. Mengingat orang yang berjasa dalam keluargaku aku ingin membalasnya dengan menikahkan anak mereka, Ela dengan Ian anak kami.
Kami menyayangi Ela, layaknya putri kandung kami. Jika Ela menolak, kami menerima keputusannya, tapi-

Ela, ingatlah orang tuamu, hingga saat ini kamu sudah cukup menderita dengan keputusanmu"

Ela tercengang dengan rangkaian kata yang begitu cepat melalui saluran telinganya dan diproses diotak kecilnya itu. Menikah dengan Ian? Mimpi apa aku semalam? Orang yang ku pikir tidak bisa ku gapai, saat ini orang tuanya meminangku? Aku yang sesaat SMA berusaha agar diliriknya, dengan modus kerja kelompok dirumah Monica, ternyata dia sibuk dikantor. Sampai pada akhirnya aku menyerah dan diumur 23 tahun aku memutuskan menikah dengan orang yang baru kukenal 2 bulan, putus asa dengan jalan cinta yang berakhir bertepuk sebelah tangan. Dan saat ini,dihadapanku, dia sedang menatapku tajam menunggu keputusan yang akan kuucapkan.

"E-ela? Bagaimana keputusanmu"

"Saya bersedia!"

BRAKK...

"IAN!"

"Ini bercandakan Ma! Aku udah punya pacar, masak aku nikah sama janda? Its not funny!"

Ela yang dari tadi menunduk, menengadahkan kepalanya menatap Ian.

"Janda? Surat surat ku belum diproses Kak Ian"
Cicit Ela takut salah ucap.

"Tapi Kau pasti akan jadi janda! Ayolah, mengapa kau sungguh munafik"

"IAN DIAM!"

Bila Christ bersuara, semua akan kembali hening.

Uh, Hm It's Hurt (hiatus Bentar) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang