"Tar? Lo kenapa?"
Matahari berhenti tertawa setelah mendengar suara yang begitu ia kenali. Ia tadi masih kepikiran dengan Langit yang tadi salah tingkah. Wajahnya merah, telinga merah, dan jangan lupakan dia yang tersedak makanan tadi. Langit ternyata masih manusia normal.
Kini ia malah kepikiram yang lain. Ia takut ada yang lihat mereka pergi dan makan bersama di kantin. Ah, belum lagi kemungkinan lain orang itu mendengar pembicaraan mereka.
"Lo kenapa?" tanya Reva ketika ia sudah duduk di sampingnya.
Ya, orang itu adalah Reva. Sahabat yang paling dekat dengan Matahari. Revalia Mecca Hutama. Gadis cantik yang sudah bersahabat dengan Matahari sejak mereka duduk di bangku kelas tiga SD.
Matahari yang saat itu menjadi anak baru dan Revalah yang menjadi teman sebangkunya. Seperti sebuah kebetulan, ayahnya Reva adalah pimpinan cabang perusahaan property milik orangtua Matahari. Hubungan mereka begitu dekat sampai saat ini bersekolah di tempat yang sama.
"Nggak apa-apa," jawab Matahari. Ia meredakan tawanya lalu menatap Reva yang kini juga menatapnya dengan mata memicing. "Apaan lo liatin gue begitu?"
"Tadi gue lihat lo di jalan sama Langit. Mana lo pegangan lagi. Kalian berangkat bareng?" tanya Reva dengan alis yang sebelahnya terangkat.
Mata Matahari membulat sempurna. Ia langsung mengalihkan pandangan. Kenapa dia ceroboh sekali. Bisa-bisanya meminta Langit memboncenginya. Sumpah demi apa pun Matahari tidak menyadari kalau ia akan menjadi viral mendadak karena diboncengin most wanted sekolah. Dia akan mencatat sejarah baru kalau sampai ada orang lain lagi yang lihat.
"Matahari, jawab gue. Lo lagi dekat dengan Langit? Sejak kapan? Bukannya lo semalam bilang Langit nggak ganteng? Terus kayaknya gue nggak pernah lihat lo ngobrol sama dia. Kapan mulai dekatnya?" tanya Reva beruntun.
Matahari menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tak gatal sama sekali. "Eum, itu gue-"
Reve mengernyitkan alisnya menunggu Matahari melanjutkan ucapannya. Namun ketika hendak berbicara lagi, tiba-tiba matanya menangkap sosok Langit memasuki kantin kembali. Reva mengikuti arah tatapan sahabatnya. Dan mata keduanya membulat ketika Langit berdiri di hadapan mereka berdua.
"HP," ucap Langit sambil mengulurkan tangannya di wajah Matahari.
"Hah?" Apa maksudnya coba, Matahari jadi bingung ketika Langit tiba-tiba datang dan langsung mengatakan HP.
"HP lo. Gue pinjem."
"Untuk apa, Lang?"
"Catatan. HP gue tinggal," jawab Langit sambil menggoyangkan tangannta di hadapan Matahari agar istrinya itu cepat memberikannya.
Memang Langit terbiasa menulis catatan melalui ponsel, kemudian ia print nantinya. Selain cepat, menurutnya akan lebih rapi tentunya. Matahari pun mengeluarkan ponselnya dari dalam tas lalu memberikan pada Langit.
"Nih," ucap Langit sambil memberikan sebuah black card dan beberapa lembar uang seratus ribuan. Setelahnya Langit pergi begitu saja tanpa penjelasan apa pun. Bahkan Matahari bingung melihat untuk apa itu semua diberikan Langit.
"Omo jinja! Tar, lo harus cerita!" Reva menarik lengan Matahari untuk keluar kantin. Untung waktu untuk masuk masih ada lima belas menit lagi.
Sampai di taman samping kelas, mereka duduk di bawah pohon. Reva menatap Matahari dengan tatapan tajamnya. Sementara Matahari bingung harus menjelaskan apa ke Reva. Apa harus dia jujur sekarang? Tidak. Dia belum siap. Tapi memang harusnya ia jujur dengan Reva. Cepat atau lambat pasti gadis dihadapannya itu akan tau.
Matahari menggelengkan kepalanya. Tidak. Ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan semuanya dengan jujur. Bukan maksudnya menyembunyikan, tetapi Matahari belum siap untuk orang lain tahu walaupun itu sahabatnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari Di Langit
Teen Fiction"Cepat buka baju lo! Biar lo paham siapa gue dan arti pernikahan yang lo maksud. Lo harus paham kalau lo itu milik gue!" "Bukannya lo sendiri yang bilang kalau kita nggak akan merasakan bagaimana pernikahan sesungguhnya? Lo bilang kalau lo nggak aka...