Suatu kebanggaan bagi Matahari berada di sekolah sepagi ini. Ini semua berkat Langit yang membangunkannya untuk salat subuh dan tidak memperbolehkan tidur kembali sampai tiba waktunya bersiap ke sekolah. Mau tau kegiatan Matahari menunggu waktu itu? Dia dipaksa ikut lari pagi bersama Langit oleh mertuanya.
Tidak tanggung-tanggung, nafasnya sungguh sesak mengelilingi komplek yang luasnya mau meninggal itu. Mana pernah dia lari pagi, untuk bangun pagi saja pun sekali sewindu. Tapi tak apa, tidak buruk juga. Malah badan terasa lebih segar dibanding biasanya.
Benar-benar berbeda ketika berada di rumahnya. Ruang makan pasti heboh dengan celotehan dirinya dan si kecil Pelangi. Sedangkan di rumah Langit sangat hening. Bahkan tadi mereka hanya sarapan berdua karena kata Bi Ratih, maminya Langit pergi mengantarkan papinya ke bandara, tepatnya ketika mereka sedang bersiap-siap akan sekolah.
"Matahari? Ya ampun gue kangen banget!" teriak Reva, sahabat sekaligus teman sebangkunya.
"Lebay banget. Eh, Melani sama Raisa mana?" tanya Matahari ketika tak melihat dua sahabatnya lagi.
"Di kantin. Yuk ah ke sana."
Tanpa mendengar jawaban Matahari, Reva langsung menarik tangannya. Dia menceritakan betapa rindunya mereka bertiga dengan Matahari. Hampir seminggu tidak bertemu dan Matahari beralasan ke Australia mengunjungi omanya di sana. Sungguh dia merasa sangat berdosa membohongi ketiga sahabatnya itu, tetapi mau bagaimana lagi?
Saat di koridor, dia berpapasan dengan Langit. Yakin sekali kalau pria tersebut ingin menemui kepala sekolah. Kelihat dia yang sedang membawa amplop putih berisi buku nikah mereka. Seperti biasa, Langit berjalan dengan pandangan lurus ke depan, tak mempedulikan banyaknya fans yang memanggilnya. Bahkan ia sama sekali tak melirik ke arah Matahari.
"Duh, Langit kapan sih lo jeleknya," ucap Reva yang sedari tadi matanya memang menatap Langit bahkan sampai punggung pria itu tak nampak lagi dimatanya.
"Emang dia ganteng, ya?" tanya Matahari polos.
"Banget, Tar. Dia ganteng, ganteng, ganteng banget. Mata lo picek? Liat dong mukanya duh ganteng. Belum lagi mulus kayak pantat bayi. Dada sama punggungnya itu sandarable banget. Lengannya, lengannya, eum-"
"Besar banget kayak pilar itu, 'kan?" tanya Matahari sambil menunjuk pilar besar di depan aula sekolah mereka.
"Ih, lo mah! Daripada Wira, lebih gantengan Langit ke mana-man-sorry, Tar." Reva tak melanjutkan ucapannya dan meminta maaf pada Matahari. Reva merutuki diri. Mulut terkadang kelepasan berbicara tanpa mempedulihan perasaan orang lain.
"No problem. Kira-kira dia apa kabar, ya?" tanya Matahari lirih.
Wira adalah kekasih Matahari. Entah pantas atau tidak disebut sebagai kekasih lagi. Pasalnya Wira pergi begitu saja meninggalkannya tanpa kabar. Sudah hampir setahun dan Matahari masih berharap akan hubungan mereka.
"Mel, Sa!"
Reva sengaja berteriak memanggil Melani dan Raisa untuk mengalihkannya menjawab pertanyaan Matahari. Reva menarik tangan Matahari untuk duduk di dekat mereka. Sebenarnya dia bingung harus menjelaskan bagaimana. Kalau Matahari tahu keadaan Wira sebenarnya, bisa dipastikan kalau gadis itu lebih sakit hati dari sekarang.
"Ya ampun, Matahari. Lo ke mana aja sih. Perginya lama banget. Tau nggak, gue udah jadian loh sama Bima," ucap Raisa antusias sambil memeluk Matahari.
"Serius? Kok mau sih Bima sama lo-duh." Matahari mengusap lengannya yang baru saja dicubit oleh Raisa.
"Yeu, jelaslah karena gue cantik. Eh, kelompok buat study tour juga udah dibagiin loh."
Matahari mengangkat sebelah alisnya. "Iya, Matahari. Dan lo tau?" Matahari menggelengkan kepalanya membuat Melani kesal. "Dengerin gue dulu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari Di Langit
Teen Fiction"Cepat buka baju lo! Biar lo paham siapa gue dan arti pernikahan yang lo maksud. Lo harus paham kalau lo itu milik gue!" "Bukannya lo sendiri yang bilang kalau kita nggak akan merasakan bagaimana pernikahan sesungguhnya? Lo bilang kalau lo nggak aka...