Nafkah?

57 6 4
                                    

Langit mengerutkan kening saat ia tak mendapat jawaban dari Matahari. Ketika melihat ke belakang, mulutnya berdecak karena tak mendapati di sana. Sepertinya tadi Matahari masih mengekori, kapan menghilangnya? Tanya Langit dalam hati.

Ia pun mencari-cari keberadaan Matahari. Pertama ke ruang tamu, ruang tengah, dan tiba-tiba pendengerannya menangkap suara dua orang yang sedang berbicara dari arah dapur. Ia pun melangkahkan kakinya ke sana. Ternyata benar. Ada Bi Juli dan orang yang sedang ia cari, Matahari.

Ketika akan melangkah dan masuk ke kamar duluan, ia mengurungkan karena terdengar namanya disebut. Rasa penasarannya muncul dan mulai mendengarkan percakapan kedua wanita itu. Setelah dirasa tau membahas apa, ia pun melangkahkan kakinya menuju kamar, menunggu Matahari.

Rasanya begitu lelah dan ingin tidur siang. Namun ia ada jadwal pemotretan untuk endorsement yang diambilnya sekitar dua jam lagi. Ya, sepertinya Langit harus memiliki penghasilan sendiri untuk ia berikan ke Matahari. Ia sadar akan status dan kewajibannya.

Memang kalau dipikir, ia tak kekurangan uang. Bahkan uang bulanannya lebih dari cukup untuk memberikan ke Matahari juga. Tapi itu bukan penghasilannya. Langit tak mau seperti itu. Menunggu ia bekerja di kantor kakeknya itu masih lama.

Langit memang sudah diminta untuk meneruskan perusahaan kakeknya yang kini dipegang Argan, Omnya. Memang banyak sepupu yang lain, termasuk anaknya Argan. Namun anak Omnya itu sudah memilih jalan berbeda dan menggapai cita-citanya.

Antariksa, anak tertuanya memilih menjadi pilot. Serta anak kemarnya Aldebaran dan Alcyone memilih menjadi dokter. Yang memiliki potensi menjadi penerus perusahaan hanya Langit. Dan ia malah diminta langsung oleh kakek dan Omnya itu.

(Baca cerita (Bukan) Istri Kedua di KBM, BABnya sudah banyak. Di sana ada kisah Argan dan Dave. Cerita ayah Langit juga yang menikah dengan ibunya. Ada cerita tentang masa kecil Langit juga loh sama sepupunya)

Pintu terbuka, membuat Langit mengurungkan membuka bajunya. Ia tau kalau Matahari lah yang masuk. Karena tak ada yang tau sandinya kecuali Papi, Mami, serta Matahari.

"Udah tau semua tentang gue?" ucap Langit.

Matahari yang mendengar membulatkan matanya. Kenapa bisa Langit tau, perasaannya tadi laki-laki itu sudah ke kamar lebih dulu.

Tak ada jawaban dari Matahari, Langit membalikkan tubuhnya. Sontak mata Matahari semakin membulat sempurna karena melihat pemandangan yang sangat sayang untuk dilewatkan. Perut kotak-kotak milik Langit sangat menggoda iman.

"Hmm!"

Deheman Langit membuat Matahari salah tingkah. Ia malu karena ketahuan. Pertama ketahuan membicarakannya, kedua ya yang barusan ini.

"Bukannya lo tadi ud-"

"Bukan," potong Langit. Ia melepas seragamnya sambil berjalan ke arah kamar mandi. Tak memperdulikan tatapan Matahari yang seperti mengulitinya.

"Awas mata lo lepas."

***

Tepat jam delapan malam, Langit sampai di rumah. Ia langsung naik ke atas menuju kamarnya. Tak sabar untuk beristirahat. Dia sudah rindu sekali dengan kasur kesayangannya.

Begitu membuka pintu, Langit tak mendapati Matahari. Ingin mencari, tetapi lebih penting lagi untuk membersihkan tubuhnya. Langit paling anti berkeringat. Ia menyukai tubuhnya yang wangi. Padahal kalau berkeringat pun bukannya bau.

Ah, Langit memang selalu wangi. Bahkan dari jarak sepuluh meter saja orang-orang pasti sudah mencium wanginya. Pertama kali melihat deretan parfum Langit saja, Matahari berdecak kagum. Gila saja, Langit memiliki jenis parfum dari berbagai negara. Jangan tanya soal harga. Karena itu juga wanginya sangat awet.

Ingin rasanya Matahari mencoba, namun masih terlalu malu menyentuh barang-barang milik Langit. Cukup dengan menyentuh pakaiannya saja, menurut Matahari untuk saat ini.

Di lain tempat, Matahari sedang mengobrol asyik bersama Reva. Ya, dia memutuskan untuk mengungkap statusnya di depan Reva. Ia juga menceritakan secara detail kronologis kenapa bisa sampai menikah dengan Langit.

"Sikap Langit ke elo gimana, Tar?" tanya Reva.

"Ya seperti biasa. Masih kayak boneka salju bernyawa sih. Oh iya, lo tau dengan cewek yang namanya Bintang?"

Reva mengernyitkan alisnya bingung. "Bintang? Kayak nama kakak kelas kita deh. Tapi udah nggak pernah nampak lagi. Pernah digosipin pacaran juga kayaknya sama Langit. Kenapa emang?"

Tepat sasaran. Bukan tanpa alasan Matahari menanyakan perihal itu. Karena sudah lama Reva sangat terkagum-kagum sama Langit. Otomatis ia pasti tau sedikit banyaknya soal Langit.

"Seriusan, Va? Ah, enggak. Gue cuma penasaran aja. Soalnya Langit pernah nyinggung nama Bintang. Katanya sih temennya. Sengaja aja gue tanya ke lo. Apa sih yang lo nggak tau tentang Langit," ucap Matahari sambil tertawa. Reva berdecak kesal. Ya, dia memang tau banyak tentang  Langit karena mengidolalakan pria itu kemarin. Ya, kemarin. Kini tidak, karena pupus sudah harapannya.

"Eum, soal Wira gimana? Dia udah ada kejelasan?" tanya Reva. Awalnya ia selalu malas membahas perihal sepupunya itu. Tapi keadaan sekarang berbeda. Ia tetap takut kalau Matahari sakit hati, namun saat ini ada Langit yang memang sudah jelas untuk Matahari.

Matahari menghela nafas beratnya. Ia menyandarkan punggung ke kursi lalu menatap kolam renang luas dan dihiasi dengan lampu-lampu. Sangat cantik sekali ketika malam hari.

"Sampai sekarang gue masih cinta sama Wira, Rev. Tapi juga bingung harus gimana. Gue sama sekali nggak bisa hubungin dia." Matahati menatap Reva. "Lo sepupunya, apa lo bener-bener nggak tau kabar Wira?"

Reva menggelengkan kepalanya. Bukan menjawab tidak tau. Tetapi dia tidak akan memberitahu. Menurutnya biarlah Matahari tidak tau dan lebih dulu mencintai Langit. Jadi, ketika Matahari tau tentang Wira, ia tidak terlalu sakit hati.

"Jangan nunggu yang nggak pasti, Tar. Gue rasa lebih baik lo buka hati untuk Langit. Ada yang lebih jelas, kenapa mesti lo nungguin yang nggak jelas? Ayolah. Langit itu manusia sempurna paket komplit, Tar. Dan gue juga tau kalau lo dulu sempat suka kan sama Langit."

Matahari tersenyum. Ia menatap Reva yang kini sudah tertawa. Ah, tertawanya kini malah menular ke dirinya.

***

"Loh, Langit? Lo udah pulang dari tadi?"

Langit menggangguk untuk menjawab. Ia merubah posisi menjadi duduk lalu mengambil ponselnya di atas nakas. Hampir saja ia tertidur.

"Nomor rekening," ucap Langit.

"Hah?"

Langit menatap Matahari. "Minta nomor rekening," ucapnya lagi.

"Rekening aku? Buat apa?" tanya Matahari yang bingung.

"Mau transfer. Cepat." Langit menatap Matahari dengan tajam, membuat Matahati dengan cepat menyebutkan nomor rekeningnya.

"Udah ditransfer."

Matahari langsung mengecek dan matanya membulat melihat nominal yang dikirimkan Langit. Lima belas juta. Ya, itu uang yang cukup banyak. Jajannya selama tiga bulan. Apa Langit memberinya nafkah? Tapi tadi di kantin sudah?

"Ini uang apa, Lang?"

"Buat lo," jawab Langit.

"Iya tapi untuk apa? Ini banyak loh," ucap Matahari yang masih berdiri di hadapan Langit. Ia ingin duduk di tempat tidur, tapi belum mengganti baju. Sementara Langit tak suka jika dari luar langsung ke tempat tidur. Ganti baju dan bebersih dulu.

"Sana bersih-bersih. Habis itu kita bicara."

"Ta-"

"Cepat."

Matahari mendengkus kesal. Ia meletakkan ponselnya di atas nakas lalu berjalan sambil menghentakkan kakinya dengan kesal. Tak lupa mulutnya komat kamit mengumpat suaminya yang masih bisa didengar oleh Langit.

"Mau dosa begitu?"

Matahari Di LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang