Matahari merasakan kalau Langit sedang marah padanya. Ya, dia tau kesalahannya. Walau menikah secara terpaksa, tetapi pernikahannya sah secara agama dan hukum. Sebagai istri seharusnya bisa menjaga diri dan harga diri suami.
Pesan dari ibunya terngiang. Matahari diminta selalu menghormati Langit dan menjalani kewajibannya sebagai istri. Ya walaupun Kayla tau kalau anak sulungnya itu masih sekolah, tak menutup kemungkinan ia diminta Langit untuk melayaninya di Ranjang.
Baik orangtua Matahari, maupun orangtua Langit pun tak melarang. Hanya saja mengingatkan kalau mereka masih sekolah. Alangkah lebih baik bermain aman setidaknya sampai lulus nanti.
Namun lihatlah kenyataannya. Matahari telah melanggar apa yang diperintahkan ibunya. Ia berada di dalam mobil dan akan diantar pulang oleh lelaki lain. Jelas itu sudah mencoreng harga diri Langit sebagai suaminya.
Matahari melingkarkan tangannya di pinggang Langit karena motor yang dikendarai suaminya itu semakin kencang. Ia takut terjungkal ke belakang. Walau tau kalau Langit tak suka disentuhnya, tapi ia tidak mau mengambil resiko.
"Lang, kita mau ke mana. Ini bukan jalan pulang," ucap Matahari yang bingung dengan jalan yang ditempuh oleh Langit.
Alih-alih menjawab, Langit justru menambah kecepatan motornya. Langit merasa risi ketika pinggangnya dipeluk oleh Matahari. Namun ia tak ingin melepaskan karena takut Matahari terjatuh. Karena itu ia menambah kecepatan motornya agar cepat sampai.
Motornya memasuki area parkit basement apartement yang terkenal mewah. Matahari bingung, namun malas bertanya karena tau tak akan mendapat jawabannya. Setelahnya Langit pun parkir dan Matahari pun turun.
Tanpa disuruh, Matahari mengekori Langit yang sedari tadi tak berbicara bahkan menatapnya. Ia jadi deg degan kalau keadaannya begini. Apalagi melihat suaminya itu menekan tombol angka 16 pada lift. Ia yakin kalau Langit akan ke sebuah unit.
Pertanyaannya ke unit siapa? Mau ngapain? Dan kenapa harus membawanya? Apa ia salah langkah mengikuti Langit? Kenapa juga tadi tidak menunggu di parkiran saja. Toh Langit pun tak menyuruhnya mengikuti.
Pintu lift terbuka. Matahari segera keluar mengikuti Langkah lebar milik Langit. Sampailah ke depan sebuah pintu lebar dan Langit seperti memasukkan sebuah password. Ah, kini satu pertanyaan Matahari terjawab. Unit apartemen ini adalah milik Langit.
"Langit, kita ngapain ke sini?" tanya Matahari memberanikan diri.
"Ambil barang," jawab Langit sambil masuk ke sebuah ruangan yang Matahari yakini itu adalah kamar.
Matahari hanya mengangguk walaupun Langit tak melihatnya. Ia memilih untuk tidak mengikuti. Matahari berjalan sambil melihat-lihat. Matanya tertuju ke sebuah foto yang terpajang di meja TV.
Foto seorang gadis cantik dan di sebelahnya ada foto lain yang mana itu adalah foto Langit. Di foto itu mereka seperti saling menatap. Sepertinya itu memang dua foto yang berbeda, namun di ambil dalam satu waktu. Terlihat latarnya sama persis.
Tiba-tiba ada perasaan tak enak di dalam dadanya melihat foto itu. Lalu ia beralih ke foto-foto lain. Ada berbagai macam gaya foto dan itu semua adalah foto gadis yang sama.
"Ini siapanya Langit? Apa mungkin ceweknya? Tapi kayaknya gue nggak asing sama muka nih cewek. Tapi siapa ya?" tanyanya sendiri.
Ketika ingin mengambil sebuah foto, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Membuat Matahari terlonjak kaget. Ia melihat Langit memegang beberapa baju.
"Langit, kok ban-"
"Ya. Dia Bintang. Yang punya ini," ucap Langit seakan tau apa yang akan ditanyakan Matahati.
Mata Matahari membulat sempurna. Dugaannya salah. Ini bukan apartemen Langit, melainkan seorang perempuan. Pertanyaannya berganti menjadi, siapa perempuan itu? Ada hubungan apa dengan Langit? Kenapa Langit tau passwordnya? Kenapa ada baju-baju Langit di sini?
Langit mengambil sebuah foto milik gadis itu. Ditatapnya dengan lamat, kemudian ia letakkan kembali. Ia beralih mengambil foto miliknya lalu ia masukkan ke dalam tas beserta baju-bajunya yang baru diambil tadi.
"Ayo."
***
Dari perjalanan pulang sampai kini sudah tiba di rumah, tak ada satu pun yang membuka suara. Matahari yang biasanya selalu ingin tau alias kepo, kini mendadak diam dengan berbagai pertanyaan di dalam kepalanya. Langit, ia juga tak tau harus menjelaskan apa tidak. Karena menurutnya pun belum ada kejelasan dari masa lalunya.
Matahari memilih ke dapur untuk mengambil minum. Ia butuh yang dingin dingin. Duduk di meja bar sambil menyeruput jus jeruk kemasan rasanya enak sekali.
"Non Tari, udah pulang?" tanya Bi Juli, asisten rumah tangga yang kebetulan lagi jadwalnya untuk membersihkan rumah mewah keluarga Langit.
"Eh, iya, Bi. Eum, Bi? Tari boleh nanya nggak?"
Bi Juli tersenyum. "Ya boleh atuh, Non. Mau nanya apa?"
Matahari memutar kursinya lalu berhadapan dengan Bi Juli. Tak lupa ia menyuruh wanita paruh baya tersebut juga ikut duduk di sampingnya.
"Bibi udah lama kerja di sini?"
"Sudah non. Sejak Mas Langit umur lima tahunan. Kenapa, Non? Non Tari pasti mau nanya soal Mas Langit, 'kan?" ucap Bi Juli sambil menaik turunkan alisnya.
"Hehehe, iya, Bi. Bibi tau aja." Matahari kembali menyeruput minuman favoritnya itu. "Apa Langit sikapnya dari dulu begitu ya, Bi?"
"Begitu gimana, Non?" tanya Bi Juli bingung.
"Dingin, cuek, terus kalau ngeliat kita tuh udah kayak mau nerkam aja. Ih, serem deh." Matahari bergidik ngeri membayangkan tatapan tajam Langit.
Bi Juli mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ooh, kalau itu mah iya, Non. Dari kecil udah begitu. Jarang ngomong juga kalau Mas Langit. Sama semuanya juga gitu kok. Termasuk sama Papi Mami. Bibi heran juga. Padahal Pak Dave sama Bu Fela orangnya asyik," jelas Bi Juli.
"Dulu ya, Non, Mas Langit itu paling suka diajak main sama sepupu sepupumya. Ada namanya Mas Al sama Dek Cio. Mereka kembar. Mereka dulu temannya Mas Langit, sering ke sini," tambah Bi Juli.
"Sekarang mana, Bi? Kemarin waktu pernikahan Tari sama Langit mereka ada?"
Bi Juli menggelengkan kepalanya. "Nggak ada, Non. Mereka lagi kuliah di luar negeri. Dua duanya ambil kedokteran. Tapi kalau libur suka ke sini kok. Atau Mas Langit yang ke sana." Bi Juli tersenyum menatap Matahari. "Walaupun Mas Langit begitu, tapi orangnya perhatian dan pengertian, Non. Baik juga. Cuma ya kalau ngomong emang buat kita harus mikir panjang saking pendeknya."
Matahari mengangguk mengerti. "Eum terus, Bi, kalau soal cewek gimana? Apa Langit pernah bawa cewek ke sini? Pacar gitu?"
"Tidak pernah, Non. Satu-satunya cewek yang dekat sama Mas Langit ya cuma Dek Cio. Kakak sepupunya. Sejak Dek Cio menempuh pendidikan di luar negeri, Mas Langit justru makin sering di rumah. Tapi setau Bibi ya begitu dulu. Sekarang Bibi mah pulang hari. Mungkin yang lebih banyak tau Bi Ratih, Non.
"Oh, iya, Bi. Okedeh. Makasih banyak ya, Bi. Tari ke atas dulu."
Sebelum ke atas, Matahari menyempatkan mencuci bekas gelasnya dulu. Padahal udah dilarang sama Bi Juli, namun tetap aja Matahari melakukannya.
"Udah tau semua belum tentang gue?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari Di Langit
Ficção Adolescente"Cepat buka baju lo! Biar lo paham siapa gue dan arti pernikahan yang lo maksud. Lo harus paham kalau lo itu milik gue!" "Bukannya lo sendiri yang bilang kalau kita nggak akan merasakan bagaimana pernikahan sesungguhnya? Lo bilang kalau lo nggak aka...