Penulis hanya manusia yang tak pernah luput dari kesalahan, pun dalam melontarkan argumentasinya. Mohon dikoreksi apabila ada yang salah atau kurang berkenan.
**
Dedaunan ubi rambat menyulur menutupi permukaan tanah yang bergunduk-gunduk. Darmana dan Zia mengais-ngais tanah yang sudah di cangkul oleh Darmana sebelumnya. Mencari ubi untuk membuat gorengan. Mereka menghentak-hentakkan satu persatu umbi tersebut di tanah untuk merontokkan tanah yang masih melekat. Mengumpulkannya pada keranjang besar. Zia membawanya masuk ke dapur, sedangkan Darmana merapikan tanahnya kembali dan memberinya pupuk kandang agar siap ditanami lagi keesokan harinya.
"Kata kak Bia, bapak udah ndak kerja sama Juragan Bahar nggih, Pak?" Suara Zia masih terdengar jelas dari tempat Darmana menguruk tanah. Pintu dapurnya terhubung pada kebun tersebut, jarak mereka berdekatan.
Helaan napas panjang untuk melampiaskan kelelahan badan juga lelahnya pria itu terhadap dunia. "Rasane ndak pantes toh, nduk, kalau bapak masih kerja."
Zia membawa dua wadah besar, sayuran yang ia dan kakaknya beli tadi pagi, dan hasil panen ubi barusan. Ia duduk di pintu dapur sambil mengupas ubi dan sayuran yang akan ia potong-potong nantinya.
"Emang ndak kenapa-napa, Pak?"
"Ndak kenapa-napa gimana?"
"Bapak ndak marah sama Kak Bia, kan?"
Darmana yang telah selesai menguruk tanah kemudian berjalan menuju sumur di bagian kanan pintu dapur untuk mencuci cangkulnya. "Bukan salah Bia," ucapnya sambil melangkah. Ia jongkok di hadapan Zia, "ambilin pisau lagi gih, bapak bantu."
Zia menurut kemudian masuk ke dapur untuk mengambil pisau, Darmana menggunakan bekas pisau yang habis dipakai oleh Zia untuk membantu mengupas ubi.
Sekembalinya Zia, mata Darmana melirik pada tangan mungil putrinya yang tengah melakukan hal serupa dengan yang ia lakukan. Semua bekas luka bakar bekas minyak panas itu sudah ditutupi oleh gel transparan yang tampak seperti ditempeli isolasi bening.
"Maafin bapak ya, Nak. Bapak bahkan ndak kepikiran buat beliin kamu salep. Kalau Bia ..." Darmana tak mampu mengeluarkan lanjutan kalimatnya. Ia mulai terisak dan menutupi matanya dengan lengan tangan kanannya.
Zia panik karena belum pernah melihat Darmana menangis sebelumnya. Ia mengelus-elus lengan kekar lelaki itu, "Sudah ndak papa, Pak," hiburnya.
"Kalau Bia ndak pulang, bapak gak tahu kita bakal gimana sekarang," lanjutnya di tengah isakan mencoba menuntaskan kalimatnya.
Tak ada yang bisa Zia lakukan selain tetap mengelus lengan bapaknya berharap hal itu bisa membantu meringankan beban perasaannya. Hatinya juga terasa perih menatap iba sang ayah. Tapi Zia tak boleh ikut menangis, Zia tak ingin menambah beban Darmana.
Zia pikir, Bia yang datang dengan uang yang tak tahu asalnya darimana dan mengamburkannya di muka Juragan Bahar malam itu menjadi penyebab Darmana berhenti bekerja sekarang. Namun, bila dipikir-pikir kembali, meski kakaknya tak datang waktu itu mungkin bapaknya juga akan tetap berhenti bekerja karena beban perasaan yang teramat berat dengan hutang yang masih melilit. Setidaknya sekarang mereka hanya perlu memikirkan bagaimana cara untuk tetap bertahan hidup hingga esok dengan sedikit modal yang Bia tinggalkan.
Yang sangat disayangkan ialah pengkhianatan Dewi. Bagaimana bisa ia mengandung anak lelaki lain sementara ia masih memiliki suami?
"Sudah bapak istirahat aja." Tangan mungilnya menepuk-nepuk lengan Darmana sekarang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rudinmeter (End)
Aktuelle Literatur"Is human value based on the money they can earn?"-NF- Adalah keluarga Darmana, keluarga sederhana, bukan keluarga cemara. Para saksi betapa dunia memiliki sisi yang begitu kejam. Terdiri dari seorang kepala keluarga yang bernama Darmana, Istrinya D...