BAB XX: Sidang Perceraian

193 43 25
                                    

Penulis hanya manusia yang tak pernah luput dari kesalahan, pun dalam melontarkan argumentasinya. Mohon dikoreksi apabila ada yang salah atau kurang berkenan.

**

"Pak Dar ikutan acara Bedah Rumah?" tanya Bu Tinah menyambut Darmana yang baru saja keluar dari mobil Choky.

"Hah?"

"Pak Dar ikutan acara Uang Kaget?" Sekarang yang bertanya ialah Bu Sri, tetangganya yang lain.

Darmana semakin plonga-plongo. Ia berjalan mendekati Bia yang berada di teras memasang wajah marah. Aura hitam menyelimuti sekelilingnya hingga memudarkan keberadaan Zia, Rania, dan Retno yang tepat di samping kanan-kirinya.

"Ini ada apa toh, Nduk?" tanyanya pada Bia.

"Harusnya Bia yang tanya, Pak. Kan Bapak yang pergi sama mereka." Telunjuk Bia menodong ke arah tiga lelaki yang masih berdiri mematung di samping mobil. Terpana oleh kehebohan warga yang mengelilingi rumah Darmana hanya karena perabotan rumah biasa.

"Bapak cuma ..." perkataan Darmana terpotong ketika mengintip isi rumah yang penuh sesak oleh furniture dan alat elektronik lainnya, "Walah, ya Allah ya Rabbi, lah kok akeh tenan," sadarnya ketika ia tahu bahwa perabotan yang dibeli bukan hanya yang tergeletak di halaman rumahnya.

**

Akeh tenan= banyak banget.

**

Rendy yang mulai bisa berpikir mencoba untuk meminta para warga agar segera meninggalkan mereka. Damar dan Choky juga membantu Rendy mengusir para tetangga dengan cara halus. Setelah keadaan berubah menjadi sepi, Bia masih menatap Choky dengan seram. Siapa lagi orang sok kaya yang suka menghamburkan hartanya demi "kepentingan bersama" versi Choky pribadi. Padahal lelaki manja itu hanya mencari kenyamanannya sendiri karena mungkin semalam tak bisa tidur di rumahnya yang terlalu sederhana bagi Choky.

"Kalau mau bakti sosial nggak usah di sini. Rumah saya bukan yayasan atau panti," sindir Bia begitu Choky mendekat.

"Nggak gitu, Bi."

"Bukankah Anda sendiri yang bilang bahwa Anda tak menyukai budaya ngemis?" ucapan Bia tercekat sesaat, matanya berkaca-kaca dengan penghinaan yang ia terima dari orang yang sudah begitu ia percaya, "pulang aja gih, kalau ndak betah. Maaf gubuk saya terlalu sederhana bagi keturunan konglomerat seperti Anda." Bia lantas melengos pergi ke dalam.

"Bi," panggilan lemah tak berdaya Choky diabaikan begitu saja oleh Bia yang terlihat kepayahan berjalan menyibak-nyibak semua perkakas di dalam ruangan rumahnya.

Kan Damar juga ikut beli, kok cuma gue yang diomelin? protesnya dalam hati.

"Udah yuk, bantu nyusun barang yang di dalem dan masukin yang di luar. Langitnya udah mendung, takut kena hujan." Damar menepuk pundak Choky dan mulai mengangkat satu persatu barang di dalam rumah itu. Menyediakan ruang untuk memasukkan barang lainnya yang masih di pekarangan.

"Enak bener lu, gak pernah kena omel Bia," nyinyir Choky.

Damar hanya terdiam. Bulu kuduknya berdiri seketika teringat kejadian semalam. Bia benar-benar menyeramkan akhir-akhir ini. Gadis itu sepertinya cocok menyandang peran psikopat di film-film thriller Jepang yang suka membunuh dengan ekspresi dingin.

"Heh Bego! Dengan alat elektronik sebanyak ini lu kira daya listrik di rumah ini kuat?" Tangan Retno menoyor Choky.

"Iya nih, oke lah beli kulkas buat nyimpen bahan makanan biar gak cepet busuk. Lah beli oven listrik, blender, sama mixer buat apaan Chok?!" Rania pun sama gemasnya pada Choky.

Rudinmeter (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang