Penulis hanya manusia yang tak pernah luput dari kesalahan, pun dalam melontarkan argumentasinya. Mohon dikoreksi apabila ada yang salah atau kurang berkenan.
**
Hari ini berat. Esok lebih berat lagi. Akan tetapi esok lusanya, akan ada hari yang indah. Kebanyakan orang mati saat "esok petang", dan tidak mendapat kesempatan melihat matahari terbit.
-Jack Ma-
**
Darmana pulang berjalan kaki setelah mengembalikan sepeda motor kakaknya. Rumah mereka tak terlalu jauh, hanya sekitar 150 meter. Betapa terkejut ketika sampai di rumah ia dapati tubuh anaknya yang penuh luka dan mata membengkak. Ia belai rambut Zia yang masih duduk melamun di atas dipan. Sambil berjongkok di depan Zia, Darmana mengamati setiap luka itu lamat-lamat.
"Ini kenapa nak?" tanyanya hati-hati.
Belum sempat menjawab, Zia hanya menoleh perlahan ke arah ayahnya. Air matanya menggenang lagi di ujung kelopak. Sekali kedip, bak kanal yang bendungannya terbuka, air matanya kembali mengalir begitu deras. Mulutnya terkatup rapat, tak mampu berucap.
Dewi terkejut ketika di teras sudah ada suaminya memandangi anak mereka dengan iba. Dewi terdiam beberapa saat di balik pintu untuk mengamati situasi, khawatir Zia akan menceritakan semua. Kemudian ia mencoba merangkai kata dan alasan kenapa Zia terluka, ketika ditanya oleh suaminya nanti. Otaknya berputar, tangannya gemetar. Setelah mendapatkan alasan, yang pasti berisi kebohongan belaka, Dewi mulai membuka suara dengan berlagak senormal mungkin, "Loh pak, sudah dari tadi pulangnya? Saya bikinkan kopi, ya?"
"Tidak usah, Bu. Ini Zia kenapa kok sampai begini?" Tatapan Darmana mengekor pada gerak tubuh istrinya yang berjalan mendekatinya kemudian duduk di samping Zia.
"Tadi Zia ke kandang, Pak. Mau bantu-bantu. Tapi malah ngelepasin anak sapi Juragan Bahar," terang Dewi seraya menggunakan tangan kirinya untuk mengelus punggung Zia, sedangkan tangan kanannya menggenggam pundak kanan Zia. Menampilkan postur tubuh seorang ibu yang penuh dengan kehangatan.
Mendengar ucapan serta melihat sikap ibunya yang penuh dusta, tangis Zia semakin menjadi. Diamnya adalah kunci sukses drama yang dimainkan oleh Dewi. Apa daya, menggeleng pun Zia tak kuasa. Dia buka suara, maka usai sudah umur keluarga Darmana. Takkan ada lagi anniversary tahun ini dan tahun-tahun mendatang. Meski hanya dirayakan dengan makan kue kukus bikinan mbok Darmi.
Dahi Darmana mengernyit, bukan tak percaya. Namun belum mendapatkan jawaban yang pas. Apa korelasinya antara anak sapi juragan Bahar yang lepas dengan anaknya yang penuh bundas? Seakan menangkap ekspresi suaminya, Dewi melanjutkan karangan indahnya. "Lah Zia ndak mau nangkap, malah lari pulang. Saya kejar, ia ketakutan karena sudah kepalang salah. Takut saya hukum kali ya, Pak? Sampai terjatuh di jalanan yang banyak batuan cadasnya, yang mau diaspal itu. Untung kang Bahar ndak marah, malah bantuin nangkap anak sapinya."
"Kang?"
"Maksudku juragan, Pak." Hampir saja Darmana menaruh kecurigaan akibat mulutnya kelepasan.
Mual. Zia berdiri dan pamit untuk ke kamarnya. Ia muak dengan tutur kata ibunya. Benar memang kata kakaknya dulu. Kalau sekali bohong, pasti akan melahirkan kebohongan-kebohongan baru untuk menutupi yang lalu. Bia memang bermulut pedas, namun tidak hipokrit seperti ibunya. Tak pernah disangka bahwa Zia akan merindukan kakaknya, meski belum genap sehari Bia pergi. Diraih buku dan bolpoin yang ada di atas ransel usangnya. Ia tuliskan beberapa rangkaian kalimat untuk melampiaskan emosinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rudinmeter (End)
General Fiction"Is human value based on the money they can earn?"-NF- Adalah keluarga Darmana, keluarga sederhana, bukan keluarga cemara. Para saksi betapa dunia memiliki sisi yang begitu kejam. Terdiri dari seorang kepala keluarga yang bernama Darmana, Istrinya D...