BAB XVII: Pulang

119 42 14
                                    

Penulis hanya manusia yang tak pernah luput dari kesalahan, pun dalam melontarkan argumentasinya. Mohon dikoreksi apabila ada yang salah atau kurang berkenan.

**

Ujian semester sebentar lagi selesai. Hari ini ialah hari terakhir Bia dan teman-temannya bertemu. Setelah ujian biasanya para perantau pulang ke kampung halaman masing-masing. Getaran samar pada kantung saku celana jins Bia terasa sebagai pertanda sebuah pesan masuk ponselnya.

Lembar jawaban terakhirnya ia kumpulkan pada pengawas, lalu ia keluar dari ruang kelas tersebut. Dirogoh ponselnya pada saku, ia tekan tombol notifikasi untuk membaca dan mengetikkan balasan.

Damar FH

13.52

Jangan pada pulang dulu ya nanti, gue tunggu di café padang.

Bia tersenyum menatap balon percakapan di grup "Tim Inti" itu. Tentu ia harus ke café padang untuk kerja yang terakhir kalinya. Sebelumnya Bia sudah diberi izin oleh Haji Khoir untuk pulang kampung di semester ini, karena semester lalu ia habiskan waktunya untuk bekerja siang dan malam demi melunasi hutang yang diberikan Choky dulu. Sudah hampir lunas semua, Choky juga mengizinkannya untuk pulang kampung karena pekerjaannya sebagai admin sosial media dapat dilakukan di mana saja.

Langkahnya begitu ringan, sebentar lagi ia akan bertemu dengan adik dan bapaknya. Ada banyak hal yang ingin ia dengar. Terutama mengenai kabar usaha bola ubi Zia yang kian sukses, berawal dari ide spontannya agar sang adik menjual gorengan sebagai upaya mempertahankan hidup ketika Darmana berhenti bekerja dari juragan Bahar. Ia sadar bahwa ia tak dapat memberikan modal yang besar ataupun mengirim uang pada keluarganya di kampung setiap bulan. Tanpa disangka bahwa Zia mampu berinovasi sehingga jualannya bukan hanya mampu untuk makan sehari-hari, namun kini ia juga mampu membayar spp sendiri setiap bulannya. Konon bola ubi Zia menjadi sangat terkenal semenjak dititipkan pada pedagang kue pasar oleh Bapak. Bia tak sabar mendengar penuturan langsung adiknya yang sudah mulai merintis menjadi pengusaha cilik.

Uang hasil jaga parkir di pasar dari Darmana dikirimkan padanya setiap bulan, meski Bia menolaknya dan mengatakan bahwa sekarang dia sudah bekerja. Ditambah dengan uang beasiswa yang ia terima setiap semester masih lebih dari cukup untuk Bia hidup. Meski pendapatan Bia sudah meningkat namun Bia selalu menekan pengeluaran agar bisa untuk menabung dan dijadikan dana darurat apabila sewaktu-waktu membutuhkan tanpa berhutang pada siapapun.

Langkahnya terhenti di depan pintu masuk café padang. Di balik pintu kaca itu sudah tampak Damar, Choky, Retno, Rania, dan Rendy dengan beberapa gelas minuman yang beraneka ragam sesuai selera masing-masing. Bia segera membuka pintu tersebut dan memasuki ruangan yang langsung disambut senyum ceria dari teman-temannya yang serentak menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka.

"Pak Haji, pinjam Bia-nya sebentar." Choky berteriak lantang ke Haji Khoir yang duduk di balik meja kasir seperti biasa. Haji Khoir yang telah mengenal pelanggan tetapnya sejak Bia bekerja di tempatnya pun hanya mengangguk dan mengibaskan tangan kanannya ke udara.

Usai melihat persetujuan dari bosnya, Bia melangkah ke kursi kosong di samping Rania dan Retno yang disediakan untuknya lalu mendudukinya.

"Gimana ujiannya tadi? Susah?" Rania langsung mengintrogasi Bia.

Bia menoleh pada Rania lalu tersenyum, "Lumayan," jawabnya singkat.

"Wah gila tadi gue ujian Hukum Humaniter rasanya pal ague mau meledak," Retno menyahut dengan sambatan.

"Lu mah semua mata kuliah juga bilangnya bikin kepala pecah," Choky menanggapi sambatan Retno seolah adalah budaya Retnoisme yang biasa dilakukan temannya yang satu itu.

Rudinmeter (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang