BAB XV: Mulut Sampah

115 43 18
                                    


Penulis hanya manusia yang tak pernah luput dari kesalahan, pun dalam melontarkan argumentasinya. Mohon dikoreksi apabila ada yang salah atau kurang berkenan.

**

Tumpukan sampah basah berserakan di atas meja dan kursi Zia. Tak hanya itu, olesan lumpur terlihat dari meja hingga lantainya. Yang aneh adalah, bangku lainnya bersih dan hanya bangkunya yang kotor menjijikkan.

Zia yang harus mengolah gorengannya terlebih dahulu dan mengantarnya ke warung Bu Lilis serta ke kantin selalu sampai kelasnya lebih mepet dengan bel pelajaran. Tak perlu bertanya, ia sudah paham itu ulah siapa. Ia menuju pojok kiri belakang kelasnya untuk meraih sapu dan ember beserta lapnya untuk membersihkan bangkunya.

Yang aneh dari perundungan ialah ketidakpedulian orang sekitarnya. Seolah mereka tak ingin ikut campur urusan orang lain dalam hal ini. Kenapa mereka tak ikut campur dalam hal bergosip saja dan saling menolong sesama? Zia jadi teringat perkataan pak Ustadz ketika ia masih mengaji dulu, Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa tumbuh suburnya kezaliman bukan karena orang-orang jahat yang bertambah banyak, namun diamnya orang-orang baik.

Di sela-sela kegiatannya membersihkan bangku, ia menatap sekelilingnya. Semua teman-teman sekelas Zia yang selama ini tak segan untuk mengobrol dengannya mendadak menjadi diam dan merunduk menghindari bersitatap dengannya. Mereka menjaga jarak dengan Zia sejak ia dan Renita berseteru. Lalu ia mengalihkan pandangannya ke tumpukan sampah basah yang sudah ia pindah ke dalam ember. Tak ada bedanya.

Farah pun begitu, ia memilih pindah meja dan membiarkan Zia duduk sendiri. Zia menghela napas panjang, melangkah untuk membuang sampah pada tempatnya. Belum sempat ia mengepel lantai, Pak Siswanto sudah datang untuk mengajar pelajaran Biologi di jam pertama.

"Itu kenapa Zia? Kok kotor sekali," ucapnya sebelum memulai pelajaran.

Zia merunduk sebagai tanda hormatnya kepada sang guru lalu menjawab, "Mohon maaf, saya kurang tahu pak."

"Ya sudah kamu bersihin dulu daripada nanti ndak bisa konsentrasi di pelajaran saya."

"Baik, Pak."

Zia melanjutkan mengepel lantai di bangkunya. Bahkan dalam kondisi seperti ini tak ada siswa yang kasak-kusuk dan menunggu Zia merampungkan apa yang ia lakukan selesai dalam keheningan. Pak Siswanto paling sedang heran, pikir Zia. Biasanya di kelas kalau gurunya diam, maka muridnya sibuk berbicara sendiri. Kalau gurunya bicara, muridnya juga tetap bicara sendiri meski volumenya lebih rendah. Kali ini adalah pengecualian, terlalu hening untuk disebut sebagai ruang kelas.

Setelah mengembalikan perkakas kebersihan di tempatnya semula, Zia tersenyum pada gurunya lantas berkata, "Sudah, Pak."

Pak Siswanto membalas senyuman Zia dan mengambil Spidol di kotak pensil yang di sediakan di mejanya. Ia menggambarkan sebuah akar yang menghadap ke atas. Lalu menuliskan judul "Jenis-Jenis Jaringan" serta sub-judul "Jaringan Meristem" di bawahnya. Ia membagi bagian akar tersebut menjadi tiga bagian dengan tanda tutup kurung kurawal sebagai petunjuk perbagiannya.

Bagian paling atas ia tuliskan Apical Meristem, bagian tengah Intercalary Meristem, dan bagian paling akhir ialah Lateral Meristem.

"Tolong dibuka LKS-nya halaman 24," perintahnya dengan menghadap ke seluruh siswa-siswinya menunggu mereka membuka halaman yang ia maksudkan. Ia menatap Zia yang bahkan tidak mengeluarkan bukunya. "Zia bukumu mana?" tanyanya kemudian.

"Belum beli, Pak."

Pak Siswanto mendengus. "Minggu depan harus sudah beli ya! Kalau begini terus kamu bisa ketinggalan materi saya."

Rudinmeter (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang