Penulis hanya manusia yang tak pernah luput dari kesalahan, pun dalam melontarkan argumentasinya. Mohon dikoreksi apabila ada yang salah atau kurang berkenan.
**
Kesibukan menciptakan kelupaan pada banyaknya waktu yang telah bergulir. Bia seringkali terlihat berlari-lari akhir-akhir ini. Semua tindakannya dilakukan dengan tergesa seakan ia akan mati bila berhenti barang sedetik saja. Tentu mengakibatkan teman-temannya menjadi terheran penuh tanya.
Teringat dua bulan lalu ketika di rumah Damar, Bia pamit terlebih dahulu sejak jam delapan malam karena belum beristirahat sama sekali setelah perjalanan jauh dari kampungnya. Ia menolak diantar Retno dan memilih menggunakan jasa ojek online karena tak enak terus-terusan merepotkan. Sepulangnya Bia, mereka saling membicarakan gadis itu saking khawatirnya. Lebam di pipinya bahkan masih bengkak membiru. Namun seakan ia tak merasakan apapun dan bersikap biasa saja. Tak bercerita apapun pada mereka. Sekalipun Damar telah berupaya untuk memancingnya dengan membuka forum diskusi bertema kemiskinan untuk menunjukkan kepedulian mereka terhadap masyarakat di semua kalangan agar Bia lebih terbuka.
"Gimana dong?" Rania bertanya penuh kecemasan.
"Tadi ada anaknya gak mau tanya," sewot Choky.
Rendy dan Damar tercenung dengan pikiran mashing-masing.
"Chok!" bentak Retno.
"Apa sih, gue mulu?!"
"Kan lu ketuanya, yang paling masuk akal buat tanya dia."
"Iya iya, gue tanya."
Terbentuklah grup chat khusus "Tim Inti" dan Choky memulai percakapan pertama pada grup tersebut.
21.36
Lu gapapa?
"Tag orangnya, Bego!" perintah Retno.
Choky berdecih kemudian menggerakkan jari-jarinya menekan tombol @ dan menambahkan kontak Bia pada kolom chatnya dan satu pesan terkirim lagi.
21.38
@Bia FH
Semua mata masih menatap penuh harap di layar ponsel masing-masing. Membuka tab group chat yang sama, seperti sebuah acara penjurian dari kompetisi menyanyi di tayangan televisi. Di mana para juri telah bersiap menekan tombol hijau atau merah. Tapi tidak dengan mereka, dengan setia menanti tanda-tanda Bia sedang mengetik.
Lima belas menit, tiga puluh menit, bahkan centang dua di balon percakapan itu masih berwarna abu-abu. Mereka saling melirik memastikan semua membuka ruang aplikasi yang sama dan hanya menanti Bia untuk melihatnya hingga centang dua akan berubah menjadi biru.
"Sudah sudah, kalian pulang sana. Nanti keburu ditutup pintu gerbang perumahan gue," usir Damar.
Terkadang manusia bisa bersikap begitu menyebalkan ketika dilanda rasa cemas. Choky yang merasa pesan singkatnya terabaikan pun mulai kesal.
"Yaudah lah, palingan emang gak mau cerita. Bubar bubar!" ia ikut menginstruksi yang lain.
Semua mulai berkemas dan meninggalkan rumah Damar dengan perasaan yang masih mengganjal.
Dan sejak saat itu, Bia hanya merespon grup percakapan mereka bila terkait dengan tugas ataupun materi diskusi. Selebihnya bila sudah menyangkut hal pribadi, ia akan menghilang begitu saja.
**
Masih berlari, menelusuri koridor, jalanan paving di area kampus, trotoar yang disediakan sebagai tempat yang ramah bagi pejalan kaki di kampus, hingga menyeberangi jalan raya dan memasuki gang ke arah kosnya. Bia bergegas menuju kamar kosnya untuk mengganti pakaian formal. Sebuah kemeja dan rok span hitam selutut yang selama ini menemaninya mencari pekerjaan. Pinjaman online sialan! Pekiknya dalam hati.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rudinmeter (End)
Beletrie"Is human value based on the money they can earn?"-NF- Adalah keluarga Darmana, keluarga sederhana, bukan keluarga cemara. Para saksi betapa dunia memiliki sisi yang begitu kejam. Terdiri dari seorang kepala keluarga yang bernama Darmana, Istrinya D...