BAB VIII: Runtuhnya Wonderland

155 49 31
                                    

Penulis hanya manusia yang tak pernah luput dari kesalahan, pun dalam melontarkan argumentasinya. Mohon dikoreksi apabila ada yang salah atau kurang berkenan.

**

Kehidupan kuliah Bia akan berjalan normal kembali. Kegiatan diklat sudah usai, materi perkuliahan dan tugas-tugas dosen yang menggunung dipastikan sudah menunggu. Bia baru saja memasuki kamar kosnya. Meletakkan ransel di samping lemari, memuntahkan semua isi perbekalannya selama diklat di lantai dan membawa baju-baju kotornya ke kamar mandi untuk sekalian dia cuci setelah membersihkan dirinya sendiri.

Usai menjemur semua pakaiannya di teras roof top, ia kembali ke kamarnya dan menata sisa perkakas yang masih berserakan. Bia juga memeriksa jadwal kuliah yang tertempel di pintu lemari dengan isolasi bening kecil agar mudah dikelupas dan tak terlalu menimbulkan bekas kelak. Menyiapkan buku-bukunya, memeriksa tugas, dan membaca materi terakhir yang diberikan oleh dosen, kemudian merebahkan tubuh letihnya pada kasur yang diletakkan di lantai tanpa ranjang di ruangan itu.

Baru sekejap ia memejamkan matanya, ponselnya bergetar. Ia yakin betul bahwa penelponnya ialah keluarganya.

"Halo, Assalamualaikum. Bia capek banget Pak, Buk. Bia tidur dulu ya nanti saya telepon balik." ucapnya tanpa membuka mata. Lalu ia tekan lama pada tombol power di ponselnya agar tidurnya tidak terganggu.

**


Sinar mentari menyelundup melalui sela-sela jendela kamar kos Bia yang menghadap arah barat. Kemilau yang hangat, cara alam membangunkannya sungguh manis. Bia membuka matanya meski sesekali masih mengerjap, menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam korneanya. Ia raih ponsel yang tergeletak di lantai samping kasurnya. Ia nyalakan lagi fungsi dari benda elektronik itu.

"Halo Assalamualaikum." Bia menghubungi keluarganya setelah merasa cukup meruntuhkan rasa kantuk dan memulihkan tubuhnya dari pegal-pegal yang tak tertahankan.

"Waalaikumsalam, Kak." Suara Zia di seberang sana

Bia meregangkan badannya dan membetulkan posisi duduknya. "Ada apa dek, kok tadi nelpon?"

"Ndak telpon i kak. Dari tadi HP-nya di deketku, ndak ada yang pegang." Terdengar suara Zia kebingungan.

"Terus siapa dong yang telpon kakak?"

Zia semakin bingung dengan kakaknya menyisakan keheningan di antara keduanya. Mungkin polusi udara di kota bisa mengkontaminasi otak. Kakaknya menanyakan hal pribadi yang bahkan dirinya sendiri tak tahu kepadanya.

"Yaudah kalo ndak nelpon ... eh iya, kamu itu kata ibuk mbok ya jangan nakal-nakal kalau di rumah. Sekarang yang bantuin bapak sama ibuk kan tinggal kamu, jangan males-malesan," omel Bia, mengingat gerutuan Dewi terakhir kali menelpon kemarin.

Zia terdengar sedang terisak di sana. Bia tahu adiknya memang cengeng, tapi apakah perkataannya keterlaluan?

"Zia?"

Masih menangis, Zia tak menjawab. Bia semakin kikuk dan merasa bersalah. Rasanya biasanya omongan yang ia lontarkan pada adik bungsunya lebih pedas dari itu dan tak membuatnya menangis. Apa sekarang adiknya sedang puber?

"Zia maaf ya?"

Bia berniat mengakhiri percakapannya takut lebih melukai perasaan adiknya sebelum mendengar suara Zia. "Tahu apa kakak soal ibuk?" nadanya pelan namun menekan dan meremehkan.

"Sudah gila ya?" Bia membalas dengan kalimat yang lebih dingin dan menikam. Ia mendesis kesal.

"Kakak ndak tahu kan kalau sekarang ibuk udah diboyong sama Juragan Bahar?" suara Zia meninggi meluapkan amarahnya.

Rudinmeter (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang