Malam itu Syifa tak bisa tidur. Ini semua sebab ciuman Hali dan meski tahu jika pria itu sedang dalam kondisi mabuk tapi sudah cukup membuat sekretarisnya terus memikirkan hal tersebut.
Sementara sang bos mungkin saja bisa tidur nyenyak. Syifa mendecak kesal ketika melihat jam menunjukkan pukul 04.00 waktu setempat.
Dia lantas bangun kemudian sedikit merenggangkan badan juga olahraga. Sesuatu yang sering dilakukan oleh Syifa dan dia melakukannya sampai pagi menjelang.
Tepat jam tujuh pagi wanita itu keluar. Dari arah kamar Hali pun terdengar suara dan tampaklah sosok pria berbadan jangkung tersebut keluar seraya memijit kepala.
"Syifa," ucap Hali begitu melihat si sekretaris.
Syifa mematung. Awalnya ia ingin bergegas tapi terlanjur namanya dipanggil. Tidak ada pilihan selain melihat pada Hali.
"Kau kapan keluar dari kamar? Kenapa tak membangunkanku semalam? Jadinya aku tidur di karpet," omel Hali.
Wanita itu menunduk, tak sanggup melihat langsung pada bosnya yang tampan tersebut. "Syifa, kenapa kamu diam saja? Kau sakit?"
Syifa langsung mengangguk dan Hali mengeluarkan napas panjang. "Aku sudah bilang tadi malam, kau jangan minum sekarang pusing juga, kan?"
'Iya pusing ... Pusing gara-gara kau,' batin Syifa kesal.
"Kau di dalam kamar saja aku akan beli obat buatmu juga." belum sempat Hali melangkah, dia tertahan sebab tangan Syifa mengenggam lengan miliknya.
"Aku ikut, mau sarapan," kata Syifa pelan walau begitu Hali mendengarkan dan mengiyakan saja permintaan wanita itu.
"Sini aku mau menuntunmu juga," Hali berujar seraya meraih tangan milik Syifa namun dengan cepat ia menepis.
"Aku boleh berjalan sendiri kok," Syifa menyahut.
"Tapi bagaimana jika kau terjatuh? Kau sedang pusing,"
"Aku bisa berjalan sendiri." Hali pun mengalah dengan menjauhkan tangannya dari Syifa. Dia lalu bergerak ke dalam lift bersama wanita itu.
Ketimbang Syifa Hali malah yang terlihat lemah. Wanita itu sendiri menggandeng lengan sang bos supaya tidak terjatuh.
Tindakannya ini ternyata diperhatikan oleh Hali kendati pening. "Kau merasa pening ya?" dia langsung menggeleng.
"Aku mengkhawatirkanmu," jawab Syifa singkat.
"Jangan cemaskan aku. Aku baik-baik saja." Tetap saja dia tetap menggenggam sampai mereka tiba di lobi.
"Biar aku saja yang beli obatnya kau tunggu di sini, ok?" Syifa langsung bergegas sebelum sempat Hali bersuara.
Tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu dan selama beberapa menit wanita itu datang kembali lalu memberikan obat pengar kepada Hali. "Kau tidak mau minum juga?"
"Tidak aku tak mabuk. Bukannya aku sudah bilang padamu semalam?" Kening Hali mengerut.
"Iya sih tapi aku, kan tahunya kamu minum setelah itu aku tidak ingat apa pun," Hali menyahut.
Syifa terdiam beberapa saat lalu bertanya lagi. "Hali, kau tidak ingat kejadian semalam?"
"Tidak. Memangnya apa yang terjadi semalam?" Pria itu balik bertanya.
"Ah tidak terjadi apa-apa, aku pergi sarapan dulu. Apa kau mau memesan sesuatu?"
"Aku ikut saja toh aku sudah minum obat." Percakapan mereka berhenti sampai di situ sampai keduanya berada di kereta.
Hali lebih asik melamun seraya melihat di jendela kereta atau bermain dengan ponsel sedang Syifa tertuju pada bosnya sendiri.
Kekecewaan timbul dalam hati karena pria yang ia sukai tak sadar dengan insiden ciuman. Di sisi lain Syifa merasa seperti orang bodoh sebab telah menyukai seorang Hali yang jelas diketahui memiliki perasaan dalam kepada sang mantan kekasih.
Walau dikatakan beribu kali jika sudah move on tetap saja Syifa tidak percaya toh sampai sekarang Hali tidak memperlihatkan jika dekat dengan wanita lain.
Tapi kalau pun belum punya dan memang sudah move on belum tentu perasaan Syifa diterima. Apa sebaiknya dia kubur saja perasaan yang baru tumbuh tersebut?
Dalam keseriusan berpikir tiba-tiba saja Syifa menguap. Kantuk mulai menyerang dan mengingat jika dia tidak tidur semalaman membuat mata terasa semakin berat.
Lantas Syifa menyangga kepalanya di kursi lalu mulai memejamkan mata. Samar-samar wanita itu bisa merasakan kepalanya turun ke samping tapi tak dipeduli sebab sekarang ia bisa mengganti jam tidurnya.
"Syifa bangun." Suara bernada perintah terdengar lamat-lamat di indera pendengaran Syifa dan sangat mengganggunya terlebih perintah tersebut semakin lama semakin keras yang membuatnya mau tak mau terjaga dari tidurnya.
Sepasang mata coklat milik Syifa bertatapan langsung dengan Hali. Kini wajah tampannya nyaris dekat dengan muka Ibu angkat Rey. Otomatis ia memekik lalu mendorong jauh.
"K-kenapa kau tiba-tiba ada di hadapanku?!" tanya Syifa masih menampilkan ekspresi kaget.
"Ya kau tidurnya lelap sekali. Kau bahkan tidak tahu kita ada di stasiun kereta api," celetuk Hali kesal. Kontan Syifa menoleh ke tempat lain namun bukannya stasiun dia malah menemukan bandara internasional.
"Eh kok kita ada di sini? Dan sejak kapan kita ada di mobilmu?" tanya Syifa heboh sendiri.
"Ap-apa kau menggendong ...."
"Tak usah bahas itu dulu!" potong Hali. Pria bermarga Singgih itu kemudian memberikan paspor milik Syifa juga tiket menuju Surabaya.
"Ini untukmu. Kau pulanglah ke Indonesia, penuhi janjimu pada Rey," lanjutnya.
Syifa menerimanya kendati ragu. Sungguh dia tak mengerti jalan pikiran dari si bos. "Ini maksudnya apa? Kau memecatku?" Hali menggeleng.
"Ini adalah hadiahmu sebab sudah mau pergi ke George Town menemaniku," jawab Hali kemudian.
"Tapi Hali aku dan Axelle sudah punya kesepakatan,"
"Ya aku tahu itu tapi Rey akan lebih bahagia jika dia tahu kalau Ibunya akan datang." Dari sorot mata Syifa, jelas ia masih ragu.
"Soal pekerjaan jangan khawatir, pergilah." Kali ini Syifa menorehkan senyuman seraya berucap terima kasih. Langsung dia keluar dan mengambil koper miliknya yang berada di bagasi mobil Hali.
Untuk sesaat wanita berdarah Indonesia itu menghentikan langkah sekedar memalingkan muka ke arah Hali. Dari dalam bos yang selalu membalas setiap perkataan dengan nada kesal bisa memberikan senyuman tipis diiringi lambaian ringan.
Syifa membalas dengan membentuk senyum kecil kemudian masuk. Di bandara Internasional Jakarta, alangkah terkejutnya wanita itu ketika mendapati Rey menunggu dengan bunga yang cantik khusus untuk dia.
Akhirnya Syifa menyadari satu-satunya kebahagiaan yang ia miliki hanyalah mempunyai Rey.
❤❤❤❤
See you in the next part!! Bye!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilema (SELESAI)
ChickLitSyifa seorang ibu tunggal yang hidup bersama dengan putranya bernama Rey merantau ke Kuala Lumpur guna mencari peruntungan. Sebab suatu insiden, Syifa mendapat rumah dan juga pekerjaan dari seorang pria paruh baya. Dari situlah dia dan juga anaknya...