Hali berjalan masuk ke dalam kediaman Singgih dengan langkah gontai. Seiring wajahnya yang lesu, dia kemudian masuk ke kamarnya. Dia sendiri tak mengucapkan sepatah kata pada keluarganya yang kini tengah berkumpul bersama-sama di ruang makan.
"Kenapa dengan dia?"
"Sepertinya firasatku benar Mama, dia bertemu Marisa hanya saja pasti sesuatu terjadi antara dia dan Marisa yang membuatnya seperti itu." kata Putra dengan lugas.
"Ah kau masih saja menyangkut pautkan dengan Marisa tapi kalau benar maka itu bagus." Sahut Della. Wajahnya menunjukkan kegembiraan.
"Tch, Della apa-apaan sih kau ini?! Anak lagi sedih tapi kamu bahagia." tegur Erwin tak suka dengan ekspresi sang istri. Della memutar matanya bosan namun tak membalas.
Akhir-akhir ini hubungan sepasang suami istri sangatlah baik. Della tak ingin hubungan ini kembali tak baik. Erwin lantas bangkit membuat Della bingung. "Kau mau ke mana?"
"Melihat keadaan Hali, aku tak ingin dia merasa sendiri saat dia bermasalah." Ketika Erwin menjauh barulah Della membuka mulut pada putra bungsunya.
"Begitulah Papamu, memiliki sifat yang baik pada anaknya tapi agak ketus sama istri sendiri." curhat Della pada Putra yang hanya bisa tersenyum kemudian menggelengkan kepala karena tingkah sang Ibu.
Sementara itu Hali tampak tertekan di dalam kamarnya sendiri. Fotonya bersama Marisa berada di sampingnya sedang lampu di kamar tidak dia nyalakan .
Tok tok
Pintu terbuka menampakkan Erwin yang kemudian berjalan mendekat pada Hali. Tidak ada percakapan di antara mereka berdua untuk waktu yang cukup lama sampai Hali merasa bosan dan membuka percakapan.
"Kenapa Papa datang ke sini?"
"Memangnya salah ya kalau Papa mengkhawatirkan kamu. Papa tahu kamu sedang sedih."
Hali berdecak. "Aku bukan anak kecil lagi Papa, umurku sudah 23 tahun."
"Tapi tetap saja untuk masalah ini kau butuh bimbinganku sebagai Papa." Kali ini Hali tak menjawab, dia menjatuhkan pandangan pada foto Marisa yang kemudian dia usap.
"Papa, kenapa Papa menikahi Mama?"
"Karena Papa mencintai Mamamu." Sepasang Mata Hali terlihat ragu saat melihat Erwin.
"Itu bohong, kan?"
"Tidak, jujur dalam lubuk hati yang paling dalam. Papa mencintai Mamamu."
"Lalu mengapa Papa dan Mama sering bertengkar? Kenapa Papa selalu meninggalkan suara Papa saat kalian bertengkar hebat?" tanya Hali menyelidik.
"Karena Mamamu keras kepala. Dia terlalu boros dalam uang sebab dirinya selalu berbelanja apa pun yang tak penting ... Hali, mungkin kau mendengar kalau kami bertengkar hebat tapi percayalah masalah kami tidaklah berat dan memang kadang-kadang di dalam suatu hubungan selalu ada pertengkaran itu wajar." jelas Erwin panjang lebar.
"Tapi pertengkaranku bersama Marisa itu tak biasa." sergah Hali cepat. Wajahnya menunjukkan ekspresi frustasi.
"Dia meminta kami putus padahal aku baru bertemu dengannya tadi. Semua ini karena salah Mama coba saja dia suka pada Marisa mungkin saja kami tidak akan seperti ini. Papa tahu bukan kalau Marisa adalah wanita baik?" Erwin mengangguk.
"Hali, aku tahu kau sedang marah besar namun jangan menghukum Mamamu dalam masalah ini. Dia menolak hubunganmu dengan Marisa karena dia sayang padamu, dia ingin kau fokus dulu pada sekolahmu waktu itu." Pria itu kemudian menghela napas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara tenang.
"Aku ingin sendiri jadi aku memutuskan untuk tinggal sendiri di apartemen yang aku beli. Aku tak tahu sampai kapan sampai hatiku benar-benar tenang. Apa Papa tak keberatan?"
"Tidak sama sekali tapi jelaskan baik-baik pada Mamamu. Ok?" Hali mengangguk.
"Terima kasih Papa." Dia lalu memeluk Erwin yang juga membalas pelukannya. Senang punya Ayah yang pengertian.
❤❤❤❤
"Apa?! Kau mau tinggal di rumah sendiri? Mama tak mau Hali, masa hanya karena kau sedih kau mau tinggalin Mama sendiri?"
"Bukan begitu Mama, aku hanya mau menentramkan diri saja nanti kalau aku bisa move on baru aku akan pulang."
"Tapi sampai kapan?"
"Aku tak tahu." Della memasang wajah kesal sekaligus sedih. Hali memang sudah dewasa tapi bagi Della Hali tetaplah putranya yang tersayang sama seperti adiknya.
"Mama, tolong berikan aku ruang. Kalau aku terus di sini aku hanya bisa menderita saja. Memangnya Mama mau Hali sedih terus?" Wanita paruh baya itu menggeleng.
"Jadi kalau mau Hali bahagia hargai keputusan Hali ya." Ekspresi sendu diperlihatkan oleh Della dan segera memeluk Hali sangat erat.
"Iya Mama mengerti kok tapi Mama merasa kesepian kalau tidak ada Hali di rumah. Biasanya kita ini, kan selalu bersama." Dalam pelukan Della dia tersenyum.
"Mama tak akan merasakan kesepian kok, di sini ada Putra sama Papa." Pelukan kemudian dilerai dan setelah berucap terima kasih Hali pergi ke halaman belakang. Dia ingin mengucapkan salam perpisahan pada Syifa dan Rey.
Terutama pada sosok anak kecil yang telah menganggapnya sebagai Ayah dan Hali merasa sangat senang akan panggilan tersebut. "Ayah!" Meski hatinya perih karena dikecewakan Marisa namun hanya dengan satu panggilan lewat bibir kecil Rey ada sedikit kebahagiaan.
"Rey!" balas Hali seraya merentangkan tangannya. Rey langsung masuk ke dalam pelukan Hali dan memeluknya dengan erat.
"Lindu Ayah (Rindu Ayah) ...." ungkap Rey polos.
"Sama Ayah juga rindu sama Rey." Hali melepaskan pelukan dan memperhatikan Rey baik-baik. Anak kecil itu terlihat sangat bersemangat menceritakan hari yang dia lalui tanpa Hali.
Ketika Hali memperhatikan Rey, Hali sadar jika anak kecil di depannya ini adalah orang yang paling dia butuhkan sekarang. Dia lalu memberi anggukan saat Rey bertanya padanya.
"Rey, mau tidak tinggal bersama dengan Ayah?"
❤❤❤❤
See you in the next part!! Bye!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilema (SELESAI)
Literatura KobiecaSyifa seorang ibu tunggal yang hidup bersama dengan putranya bernama Rey merantau ke Kuala Lumpur guna mencari peruntungan. Sebab suatu insiden, Syifa mendapat rumah dan juga pekerjaan dari seorang pria paruh baya. Dari situlah dia dan juga anaknya...