Sekolah

44 17 6
                                    

Hallo, hulla
Mimin kambek again, dan membawa sejuta kerinduan
(Garing woi, garing-_)

Oh iya, hehe
Gimana? Udah ready buat baca?
Sama aku juga, wokwok.
Sebelumnya jangan lupa vote and koment ya, karena itu gratis, ga pungut biaya.

Yaudahlah yuk, capcuss...


Happy Reading🎉




"Permisi Pak, mau manggil Seyna Nathania disuruh ke ruang Kepala Sekolah," ucap seorang murid, yang tadi telah mengetok pintu kelas Xl MIPA itu.

"Baik, Seyna kamu dipanggil ke ruang Kepala Sekolah, silahkan keluar,"

"Permisi, Pak. Izin keluar," ucap Seyna dan hanya dibalas deheman oleh guru kimia tersebut.

Sepanjang perjalanan menuju ruang Kepala Sekolah, perasaan Seyna sudah gelisah, dia merasa akan terjadi sesuatu. Pasti, dan dia yakin itu.

Tok...tokk

"Masuk."

"Maaf, Pak, saya dipanggil mau ngapain ya, Pak?" ucap Seyna gugup dan sembari meremas roknya kuat-kuat.

"Sebelumnya, buat kamu, Seyna. Saya tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Karena guru juga sudah banyak mengeluh tentang kamu. Kehadiran kamu bisa dihitung oleh jari, selama satu bulan kamu hanya sekolah 9 hari bahkan kadang 6 hari, itu dalam sebulan," tegas Kepala Sekolah tersebut. "Bapak, tidak bisa melakukan apa-apa lagi, ini sudah keputusan sekolah. Bapak mengucapkan banyak terimakasih buat kamu, karena selama kamu bersekolah disini kamu sudah membuat nama sekolah ini naik. Tapi, untuk masalah satu ini, saya tidak bisa menolong kamu. Kamu di DO, mulai besok kamu tidak perlu lagi datang kesini," tutur Kepala Sekolah itu, walapun hatinya tak kuasa untuk mengleuarkan Seyna dari sekolah ini. Tapi, setelah masuk kelas sebelas, Seyna berubah drastik.

Tanpa mengucapkan apa-apa, Seyna mengambil ampol yang berisikan surat tadi, dan langsung berlalu. Dia tidak kembali ke kelas, melainkan naik ke rooftop sekolah mereka.
Mencari udara segar, dan menenangkan pikirannya. Bagaimana jika orang tuanya tau, bahwa Seyna di DO dari sekolah? Apa yang mereka ucapkan? Apa mereka peduli?
Tak ada yang tau, Seyna sendiri bingung. Dia hanya duduk dibangku yang tersedia di rooftop dan memejamkan matanya. Kali ini memang benar-benar gagal menjadi seorang anak.

***

"Nia, kemari kamu!" panggil seorang pria paruh baya, siapa lagi kalau bukan Ayah Seyna. Dia sudah melihat surat yang diletkannya tadi di meja ruang tamu. Dengan santai Seyna turun kebawah, yang masih memakai seragam sekolahnya. Ya, seharian ini dia belum mengganti seragamnya. Terlalu malas, mungki.

"Apa ini? Ini yang Papa ajarkan ke kamu?" ucap Randy ketika Seyna masih berjalan menuruni tangga, setelah sampai di dekat Ayahnya dia langsung duduk dan tak mempedulikan ucapan orang tua itu. "Siapa yang ajari kamu berlaku tidak sopan dengan orang tua, ha? Papa pernah ajarin kamu untuk tidak sopan? Dan apa ini, kamu di DO dari sekolah. Papa pikir kamu adalah anak yang pintar, yang bisa papa andalakan. Ternyata, apa-apaan ini," habis sudah amarah Randy, dia melemparkan kertas tersebut tepat di wajah Seyna.

Seyna berdiri dan berjalan memutari Ayahnya, sembari memainkan surat yang dilemparkan Ayahnya itu. "Papa mikir gak, Papa pernah ajarin aku untuk belajar sopan santun? Papa mikir gak, kalau Papa yang buat aku jadi seperti ini? Dengerkan saya Tuan Randy Gunawan Renanda yang terhormat, yang katanya jago dalam hal bisnis. Hello, Anda hanya pintar berbisnis, tidak dalam mendidik anak-anak Anda. Papa liat Kak Rafa, Kak Rafa bahkan muak liat wajah sok berwibawa Papa itu. Lihat Naura, Putri kecil Papa, apa Papa pernah menyapa dia? Siapa sebenarnya orang tua kami? Saya pikir, Anda tidak peduli lagi dengan Saya, ternyata, ya begitulah. Saya di DO dari sekolah karena kalian berdua, Anda dan Istri Anda itu," ucap Seyna dengan wajah dingin. Randy diam, benar yang dikatakan Seyna. Ia belum jadi Ayah yang baik buat anak-anaknya.

Diary DepresiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang