Melibatkan Lian dalam Masalahku

24 1 0
                                    

Masalah baru yang datang ini semakin membuatku yakin untuk terus menerus menyelidiki Arga. Aku tidak tahu, apakah nantinya hal ini akan memberikan efek baik bagiku ataupun tidak sama sekali. Jika aku boleh berkata jujur, ini adalah pertamakalinya aku sebegitu penasaran dengan kehidupan orang lain hingga membuatku lupa diri. Bahkan, penyelidikanku membuatku begitu acuh kepada Lian yang jelas-jelas berstatus sebagai pacarku. Sebagai seorang laki-laki, aku juga bisa merasakan bahwa sebetulnya Lian begitu cemburu dengan hal yang aku lakukan ini.

Lian adalah wanita yang nyaris sempurna dalam pandanganku. Sosok wanita yang sangat bijaksana. Bahkan, ketika aku mengobrol bersamanya membicarakan tentang Arga, dia siap mendengarkan dan memberikan feedback atas hal yang aku ceritakan kepadanya. Meskipun, aku merasa kecemburuannya kepadaku begitu besar. Lian adalah salah satu wanita yang terbaik yang pernah dikirimkan oleh Tuhan untuk mengisi kesunyian hidupku.

Saat itu, langit menghitam. Tidak ada seberkas sinar dari ufuk yang memancar ke bumi. Tetesan air surgawi mulai memasahi dinding-dinding sekolah. Hembusan angin mengalun dengan keras. Aku berada di depan kelas Lian sambil melihat siswa kelas XI yang bermain sepak bola di bawah derasnya hujan. Sepak bola adalah salah satu jenis olahraga yang tidak aku sukai. Bahkan, aku hampir tidak menyukai semua jenis olahraga. Itulah yang membuat ketahanan fisikku lemah. Untuk mengangkat barang yang berat saja, aku masih harus berjuang agar barang tersebut tidak jatuh ke tanah.

Beberapa waktu kemudian, Lian datang menghampiriku sambil membawa buku tugas kimia yang super antik itu.

"Wih.... Kok buku tugas kimia terus sih yang dielus-elus. Akunya kapan?" candaanku terhadap Lian.

"Ntar, ya! Kalau udah sah. Udah jadi imam di masa depanku. Kalau udah sukses dan ngehalalin aku. Aku mau deh ngelus-elus." jawab Lian kepadaku sambil tersenyum.

"Lama dong masihan. Padahal pengenku sekarang, loh! Kalau kita nanti nikahnya 1000 tahun lagi gimana? Masak aku harus nunggu selama itu cuma buat dielus-elus doang." jawabku kepada Lian.

"1000 tahun lagi? Kayak malam Lailatul Qadar aja pakek istilah 1000 tahun. Lagian, kita udah mati kali kalau nungguin 1000 tahun. Zaman sekarang mana ada coba orang yang bisa hidup sampai usia 1000 tahun? Udah jadi tanah semua itu." sambil menepuk pundakku.

"Lailatul Qadar? Hahahahaha...." aku tertawa dengan keras.

"Lho, ada yang salah ya?" Lian kebingungan sambil menggaruk kepalanya.

"Lianku sayang, kalau malam Lailatul Qadar kan 1000 bulan, bukan 1000 tahun. Kamu gimana sih? Masak lupa sama pelajaran agama. Kebanyakan mikir rumus kimia ini kamu! Gara-gara Bu Rina." aku menatap Lian dengan senyuman yang lebar.

"Eh, iya ya. Duh, maaf. Belakangan ini aku emang sering error, sih. Tugasnya Bu Rina, tuh. Ya ampun. Bikin aku nggak bisa tidur semalaman. Gila, ya! Kerja rodi kayak gini sama sekali nggak efektif. Iya kalau hasilnya sesuai. Kenyataannya? Hasil berbanding terbalik dengan usaha. Padahal, aku bikin peta konsep kayak gini tuh udah penuh perjuangan banget. Sampai dibelain nggak tidur, loh. Udah kaya tikar aja ini peta konsepku. Bisa buat tiduran. Belum lagi, harus tempel sana sama tempel sini. Dibikin warna-warni. Ribet deh pokoknya!" Lian terlihat kesal dan membuang alat tulisnya ke lantai.

"Jangan dibuang, dong! Kan, sayang banget alat tulisnya." aku berusaha menasihati Lian pelan-pelan.

"Habisnya nyebelin sih Bu Rina." Lian menatapku sambil cemberut.

"Wes to, kamu pasti bisa! Percaya deh sama aku!" aku tersenyum kepada Lian.

"Nggak, ah! Percaya sama kamu itu musyrik! Percaya itu ya sama Allah, dong! Kamu banyak bohongnya soalnya." sambil mengambil pensil yang jatuh tadi.

Dunia Tanpa TitikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang