21. Keluarga yang Harmonis?

153 27 12
                                    

NB: Lagu di atas bukan untuk mendukung suasana. Hanya ingin membagi playlist yang sering saya dengar saja.

Tekan tombol bintang untuk mendukung penulis ini.

-Selamat Membaca-


Semakin lama, aku semakin tidak tega melihat Mas Awan yang selalu pulang telat dengan bersimbah keringat, tapi hanya mendapatkan upah yang sangat sedikit.

"Mas, gimana kalau Mas jualannya di toko aja? Kita buka toko roti. Kebetulan tadi pagi aku lihat toko seberang jalan, yang pas di persimpangan itu di jual. Tempatnya juga sangat strategis. Pasti kalau tidak buru-buru kita beli, sudah ada orang lain yang mau membelinya," jelasku saat kami sedang makan malam.

"Kamu tidak suka aku jual roti keliling?"

"Bukan." Aku menggelengkan kepala cepat.

"Kamu malu kalau aku jual roti keliling?"

"Bukan, Mas. Tidak ada salahnya kan kalau kita membuka toko roti. Kamu tidak perlu capek berjalan mengedarkan roti seharian. Selain itu, keuntungan yang akan didapatkan pasti lebih banyak, karena yang akan dijual nanti adalah roti buatanmu sendiri," jelasku meyakinkan.

Dia membuang napasnya berat lantas menatap mataku.

"Biaya buka toko pasti mahal, Rin. Aku tidak mau membebanimu lagi," jawabnya dengan ekspresi tidak enak hati.

Awalnya aku merasa berat untuk menawarkan Mas Awan untuk membuka toko roti. Cicilan klinik masih tersisa empat bulan. Menumpuk-numpuk cicilan pasti akan membuatku kewalahan untuk membayar nantinya.

Namun, rasa tidak tega melihat Mas Awan lebih besar. Biarlah saja, semoga toko rotinya nanti memiliki pelanggan dan keuntungan yang banyak.

"Mas Awan tidak perlu khawatir dengan biayanya. Tenang saja. Tapi, nanti kita harus berusaha keras supaya toko rotinya memiliki banyak pelanggan. Pasti bisa. Roti buatanmu kan enak," jawabku dengan pujian dan senyum mengembang.

"Baiklah," jawabnya singkat.

"Ok. Berarti besok kita langsung datang ke lokasinya saja ya. Kalau menurutmu cocok, kita ambil. Kalau tidak, kita cari di tempat lain saja." Memang sangat mudah melakukan bujuk rayu dengan suamiku ini. Dia selalu saja menyetujui usulanku walau ada beberapa penolakan di awal.

Malam ini aku harus menyelesaikan jurnalku. Sudah satu bulan berjalan, aku dan temanku melakukan penelitian tentang kondisi kejiwaan penghuni lapas. Aku merasa kasihan melihat para tahanan yang sudah pasti kondisi psikisnya memburuk selama berada di lapas. Kami ingin pemerintah lebih sadar tentang kebutuhan konseling kejiwaan terhadap mereka.

Terlebih lagi di lapas remaja. Mereka jelas akan mengingat penderitaan psikis jauh lebih dalam, karena ingatan yang masih kuat di usia muda. Para remaja memiliki banyak ketakutan ketika berada di lapas. Takut akan dibenci oleh orang sekitar ketika bebas, takut tidak mendapat pekerjaan, takut mengulangi hal yang sama lagi.

"Rin ... boleh kupeluk?" ucap suami yang tiba-tiba berdiri di samping mejaku.

Hal itu benar-benar membuat fokusku menghilang. Namun, aku tidak membiarkan rasa kesalku muncul. Yang kulakukan adalah bangun dan memeluk tubuh kurus lelaki itu.

Sudah beberapa kali dia melakukan hal seperti ini. Awalnya aku terkejut dan gugup. Namun, aku sering melakukan hal ini dengan pasien yang masih kanak-kanan. Jadi, kuanggap hal ini adalah hal biasa. Pelukan akan membuat seseorang menjadi lebih tenang. Apa belakangan ini dia memiliki masalah yang sulit diatasi?

RUANG KELABU  [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang