23. Sisi Lain Diriku dan Dirinya

154 28 10
                                    

Entahlah, menurutku playlist ini benar-benar mendukung suasana. Dengerin deh... wkwkkw aku kecanduan gegara denger dari tiktok wkwk.

-Selamat Membaca-

.
.
.



"Assalamualaikum .... Aku pulang!" teriakku dari lantai bawah setelah membuka pintu rumah.

Lantai bawah yang merupakan klinik—tempat kerjaku ini sangat gelap. Hanya sedikit remang-remang cahaya akibat pancaran sinar lampu dari lantai atas. Aku melewati tempat ini cepat sambil berlari menaiki tangga.

Seperti yang telah diduga, Mas Awan sedang duduk di meja makan dengan beberapa hidangan makan malam di depannya, menungguku pulang.

"Wah, tumben kamu masak banyak, Mas," celotehku dengan memasang ekspresi orang yang tengah merasa kelaparan.

Dengan sigap, aku langsung mencuci tangan dan bergabung di meja makan. Sepotong ikan goreng kuambil dari piringnya. Kebetulan sekali, tadi aku tidak makan siang. Jika Mas Awan tidak memasak makan malam, aku berencana untuk memesan makan malam dalam porsi jumbo. Cacing di perutku mulai menyuarakan kegelisahannya sedari salat magrib tadi.

"Gimana kabar Bu Mirna?" tanya suamiku yang duduk berhadapan denganku.

"Alhamdulillah."

Tidak ada hal luar biasa yang terjadi saat aku ke rumah Pak Dito tadi. Mereka sekeluarga sehat. Tak banyak hal yang kuceritakan tentang keluarga itu pada Mas Awan. Karena memang kabar mereka baik-baik saja. Suasana kompleks itu juga tak jauh berbeda dari saat aku berkunjung beberapa bulan yang lalu.

"Sebenarnya—" Lidahku kelu saat ingin mengatakan hal itu. Aku menghentikan kegiatan makan malam sejenak sembari menundukkan kepala. Banyak sekali kata-kata yang mengambang di kepala belum tersusun rapi ingin keluar melalui mulutku.

Tidak tahu bagaimana ekspresi Mas Awan sekarang, kutarik napas dalam dan melanjutkan pembicaraan itu. "Sebenarnya tadi siang ada pasien yang datang. Dia mengalami KDRT. Wajahnya dipenuhi memar. Awalnya, lelaki ini sangat baik dan perhatian padanya. Namun seiring perjalanan waktu, dia mulai ringan tangan kepada istrinya."

Aku menghentikan cerita sesaat lantas melirik ke arah lelaki yang duduk di hadapanku ini. Benar saja, raut wajahnya mulai berubah. Sekarang rasanya untuk menelan ludah saja susah. Apa aku harus melanjutkannya? Tapi, Mas Awan tidak menyela sedikit pun dan masih duduk di sana. Tandanya dia masih mau mendengarkanku bukan?

"Aku minta maaf, Mas. Saat itu otakku langsung memikirkan hal yang aneh-aneh. Maaf karena aku lagi-lagi meragukanmu dan memilih untuk menceritakannya pada Bu Mirna."

Belum sempat aku menyelesaikan keseluruhan ceritaku, Mas Awan langsung memotongnya. "Apa selama ini aku pernah menyakitimu? Pernah membentakmu? Aku bahkan sudah berusaha menjadi seperti yang kamu inginkan. Saat kamu tidak pernah menceritakan apapun tentang masa lalumu, aku tidak mempermasalahkan itu. Bahkan saat terkadang kamu menghindariku tanpa sebab yang jelas, aku juga tidak pernah mengungkitnya.

"Kenapa? Aku tidak ingin menyinggung hatimu, tidak ingin kalau kamu beranggapan bahwa aku yang hanya orang asing ini berusaha ikut campur dengan urusanmu. Walaupun begitu, aku masih bersabar dengan itu. Apa lagi yang harus kulakukan supaya kamu tidak ragu lagi? Aku benar-benar kecewa, Rin."

Tak kukira, kali ini Mas Awan mengeluarkan segala isi hati dengan nada kecewanya. Raut wajah yang terlihat sedikit menahan emosi dan perasaan kecewa itu benar-benar membuatku bersalah. Apa yang harus kulakukan sekarang? Bagaimana ini?

RUANG KELABU  [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang