Mobil sedan Lita meluncur lambat di atas jalan aspal rusak berbatu. Meski tidak terlalu parah, hal itu cukup membuat Lita harus berjalan amat perlahan. Beruntung, tidak ada lagi gangguan mistis yang mereka alami sejauh ini.
Mereka melewati puing-puing bangunan. Sebagian dari itu merupakan rumah kayu yang hampir roboh ditinggal penghuninya dan telah dipenuhi tanaman menjalar. Setelah berjalan lagi sejauh seratus meter, barulah mereka menemukan perkampungan sesungguhnya dari kejauhan. Terang benderang, dan ada sebuah pos ronda yang dijaga oleh tiga orang lelaki.
"Itu tadi Desa Kramatasih. Sudah kosong sejak dua puluh tahun lalu," jelas Natassja meski tak ada yang bertanya.
"Gara-gara wabah antraks, ya?" Balas Shomad.
"Kok tahu?" Natassja takjub.
"Tahu, lah,"
Mereka tak saling bicara lagi. Mobil terus dikendarai sampai di depan pos ronda. Para lelaki memberhentikan mobil, kemudian menyuruh Lita membuka seluruh kaca mobil. Lita menurut saja.
"Permisi, mbak. Ini jenengan (kamu-bahasa Jawa halus) semua ada apa ya ke sini?" Selidik seorang di antara mereka.
"Kami mau ke rumah Buk Juwati,"
Hal menarik berikutnya adalah mereka memeriksa suhu tubuh para penumpang menggunakan termometer non kontak ke arah dahi. Dari situ Natassja menebak mungkin Shomad tahu soal wadah pes lantaran melihat pengukur suhu itu dari jauh. Barangkali penyakit pes di masa lalu ditularkan oleh pendatang yang berkunjung ke kampung tersebut sehingga menimbulkan rasa trauma bagi warga desa lain.
"Loh, mbak Tasha ya?" Tanya salah seorang dari mereka kaget dengan aksen Jawa yang kental.
"Iya, Pak Harun," jawab Natassja ramah disertai senyuman.
"Tasha sopo, toh? (Tasha siapa, sih?)" tanya pria lain.
"Kae loh, bojone Dullah sing soko Rusia. Mantune Buk Juwati (Itu, loh. Istrinya Dullah yang dari Rusia. Menantunya Buk Juwati)"
"Owalah, iyo! Iling aku! Nggarai pangling ae, (Oh, ya! Saya baru ingat! Kau bikin pangling saja)" balasnya seketika itu juga.
"Lama banget nggak ke sini, mbak," kata Pak Harun.
"Iya. Sebenarnya kapan lalu mau ke sini, tapi suami saya nggak ada. Jadi tertunda," ungkap Natassja. Ketiga pria itu mengangguk. Tentu mereka tahu kalau suami Natassja sudah tiada sejak beberapa bulan lalu. "Ini baru saya dapat teman yang mengantar,"
"Anake sampean yang kecil itu mana, mbak?" Tanya lainnya.
"Ini," jawab Shomad. Saat itu Adel sudah tertidur dengan pipi menempel di bahu Shomad. Shomad mendekapnya dan menahan punggung si kecil.
"Wih, wis gedhe tibakno. Ayune anake Dullah iki (Wah, sudah besar rupanya. Cantik sekali anaknya Dullah ini)," puji Pak Harun sambil memerhatikan wajah polos Adel.
"Sampun cekap, pak? (sudah cukup, pak?)" Lita menginterupsi. Dia tidak mau waktunya habis di tempat itu. Hari juga semakin malam.
"Pun. Monggo (Sudah. Silakan)," kata Pak Harun sambil memberi isyarat dengan tangan. Ketiga pria berjalan mundur menjauhi mobil.
Mobil berjalan lagi perlahan-lahan. Mereka melewati perkampungan nan sepi. Saat mereka hampir sampai di ujung jalan buntu, Natassja meminta Lita untuk masuk ke halaman sebuah rumah. Rumah semen dengan tembok tak dicat.
Mereka bertiga turun dari mobil. Shomad agak kerepotan sebab harus melepaskan sabuk pengaman hati-hati supaya Adel tidak terjaga. Dia turun dari mobil sambil menggendong gadis kecil itu tanpa merubah posisinya. Lita mengambil inisiatif untuk membawakan barang-barang Shomad dan Natassja.
Di saat hampir bersamaan, Pitty datang dan hinggap di kap mobil. Si elang besar terbang sejauh ratusan kilometer sambil ditunggangi oleh Tarsy. Lantas Shomad memperingatkan mereka untuk tidak berbuat onar di kampung orang lain. Hanya Tarsy dan Prina yang diizinkan masuk ke rumah. Para hewan menurut saja.
Natassja dan Shomad mendekati pintu rumah kayu yang besar. Usang tapi terawat. Disusul Lita yang dengan mudah membawa satu tas besar Natassja dan koper Shomad, sekaligus menggendong ranselnya dan ransel Shomad di dada dan punggungnya.
"Assalamualaikum," teriak Natassja.
Tidak ada jawaban.
"Assalamualaikum," teriak Natassja sekali lagi sambil mengetuk pintu agak keras.
"Waalaikumsalam," jawab seseorang dari dalam. Terdengar bagai suara wanita berusia lanjut. Suara langkah kaki seperti terseret, butuh waktu agak lama bagi si pemilik rumah untuk meraih gagang pintu.
Ini pasti Buk Juwati, Pikir Shomad.
Seketika pintu terbuka. Maka tampaklah seorang perempuan tua nan bungkuk dan tingginya tidak sampai satu setengah meter. Penampilan sederhana sebagaimana wanita lanjut usia di pedesaan pada umumnya.
"Loh, Tasha? Be'en (kamu) nak?" Tanyanya sedikit syok.
Natassja tidak menjawab ucapan si Nenek. Dia langsung mencium tangan Buk Juwati dan bersimpuh di hadapan si Nenek.
"Kauleh onggu-onggu nyo'on saporah, Bu (Saya benar-benar minta maaf, bu)," ujar Natassja penuh sesal sambil menangis.
"Iya, iya, nak," Buk Juwati menarik lengan Natassja supaya wanita itu lekas berdiri. "Ibu nyo'on saporah jughen, (Ibu juga minta maaf),"
Lita dan Shomad sama-sama bengong.
Serius? Natassja bisa Bahasa Madura?
"Edimmah ana'ah be'en (Mana anakmu)?" tanya Buk Juwati.
"Nekah (ini), bu," Shomad sedikit memutar tubuh untuk melihatkan wajah Adel yang tertidur.
Buk Juwati segera mengusap kepala Adel yang bersandar di bahu Shomad dan menciumi pipinya berulang kali sampai Adel merasa terganggu dan hampir terbangun. Secara refleks si kecil memindahkan posisi kepalanya ke bahu yang lain.
"Aduh, cek raddhinnah tang kompoy riah yeeh (Aduh cantiknya cucuku ini),"
"Manabi sampeyan paserah asmannah? (Kalau kamu siapa namanya?)" Tanya Buk Juwati.
"Kauleh Shomad, Buk. Manabi nekah Lita, kancannah kauleh. (Saya Shomad, buk. Kalau ini Lita, teman saya)," jawab Shomad sambil menyalami Buk Juwati dan mengecup tangannya. Agak kaget juga Lita mengetahui kalau Shomad bisa bahasa itu.
"Benni bhekalah be'en se anyar? (Bukan calon suamimu yang baru?)" Tanya Buk Juwati asal-asalan kepada Natassja.
"Bhunten, bu (bukan, bu)," tepis Natassja malu-malu.
"Maaf, saya tidak mengerti Bahasa Madura sama sekali, bu," ucap Lita sopan. Dia menyalami Buk Juwati dengan cara serupa dengan Shomad.
"Engkok mala tak tak taoh cak indonesia sekaleh. Mon cak jebeh engkok ngerteh tapeh melarat sengoca'ah (Saya malah nggak tahu bahasa Indonesia sama sekali. Kalau Bahasa Jawa ngerti, tapi susah ngomongnya)," jelas Buk Juwati sambil tertawa. Nampak barisan giginya mulai tak teratur sebab dimakan usia.
Lita pun turut tertawa, meski tak tahu artinya apa.
"Kholis ekimmah Bu? (Kholis di mana bu?)" Tanya Natassja. Kholis adalah adik Abdullah, sekaligus ipar Natassja.
"Ghik bedeh e sabe nyareh ghentak. Paleng sakejjhik agghik le mole, (Masih di sawah cari jangkrik. Paling sebentar lagi pulang)," tutur Buk Juwati santai. "Toreh (silakan), masuk," ajak Buk Juwati mendahului mereka memasuki rumah.
Ghentak... ghentak... Shomad berpikir keras.
"Jangkrik, boss..." Bisik Natassja di telinga Shomad.
Shomad garuk-garuk kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
6. Otets
RomanceShomad telah resmi keluar dari pesantren setelah diwisuda. Dibantu Zuan, dia memindahkan barang-barangnya menuju rumah kost di sebuah perkampungan dekat kampus. Ada sebuah warung kecil di dekat rumah baru Shomad tempat dia mengisi perut, dan di situ...