Saat pagi tiba, suasana mencekam perkampungan tidak lagi dirasakan para tamu.
Masyarakat kampung sudah mulai beraktivitas. Sebagian dari mereka berangkat ke sawah, atau baru pulang dari sawah sehabis memanen hasil pertanian mereka. Dua truk kecil memasuki jalan desa untuk mengangkut sayuran segar ke luar daerah.
Buk Juwati dan Natassja baru pulang berbelanja di warung dekat rumah mereka. Buk Juwati berpesan agar Natassja tidak menyia-nyiakan waktu liburan mereka. Jadi wanita tua itu menyuruh Natassja untuk pergi ke sawah bersama sang cucu.
"Aku wae mbak sing masak karo ibu (Biar aku saja mbak yang memasak dengan ibu)," usul Lita. Mereka bertiga sedang ada di dapur.
"Emm, tapi..."
"Tak pa apah, bing (Tidak apa-apa)," ujar Buk Juwati. "Adel tak tak toman taoh rassanah ke sabe ben amain e aing terjon (Adel tidak pernah pergi ke sawah dan tidak tahu rasanya main di air terjun),"
"Enggi, seh. Tape napah bisa paham dek oca'annah selaen? (Iya sih. Tapi apa kalian bisa memahami bahasa satu sama lain?)" Natassja terlihat ragu.
"Bisa, se penting cak jebeh. Beni bhesah (Bisa. Yang penting bahasa jawa, bukan jawa halus, ya,)" Buk Juwati tertawa. Natassja menerjemahkan itu ke Bahasa Indonesia untuk Lita.
"Lis, Kholis..." Panggil Buk Juwati. "Mangkat ben embuggeh ben Adel bein, yeh (Berangkat sama mbakmu dan Adel, ya)"
"Enggi, bu," sahut Kholis setengah berteriak. Dia sudah di depan rumah menyiapkan perkakas, siap untuk ke sawah memanen singkong.
"Anak eng kakeh ben bekallah kakeh kemmah? (Adel dan tunanganmu mana?)" Tanya Buk Juwati.
"Main e yade'en kissah bu, (Mereka main di depan, bu). Mas Shomad benni bekallah kuleh! (Mas Shomad bukan tunanganku!)" Bantah Natassja sekali lagi.
Akhirnya Natassja berpamitan dengan Buk Juwati dan Lita. Dia berpesan pada Lita agar menjaga ibu mertuanya itu baik-baik. Tentu saja gadis itu menyanggupinya.
****
Tiga jam sudah Adel, Natassja, dan Shomad menemani Kholis di sawah. Kaki dan tangan mereka kini dipenuhi lumpur, Kholis pun sedang melepas lelah bersama sang kakak ipar di pematang. Sedangkan Adel dan Shomad masih asik bermain di sawah.
"Menurutmu, gimana?" Tanya Natassja.
Kholis masih sedikit terengah-engah. Sebentar dia kurang begitu paham ucapan Natassja tadi. Namun saat dia menyaksikan Adel dan Shomad dari situ, ia segera mengerti arah pertanyaan Natassja.
"Adel sudah jarang menangis lagi, ya?" Tanya Kholis balik sekedar mengonfirmasi.
"Iya. Karena mas Shomad,"
"Belum juga beberapa bulan Kak Dullah meninggal," kata Kholis sedikit tak senang.
"Kalau kamu tidak setuju juga tidak apa-apa,"
"Bukan tidak setuju. Hanya terlalu cepat saja. Mbak juga harus lihat Shomad benar-benar sayang Adel atau nggak," saran Kholis. "Memangnya selisih umur kalian berapa tahun?"
"Dia lima tahun lebih muda dariku,"
"Oh,"
Sesaat berlalu, Natassja tiba-tiba mendapati Lita berjalan membawa rantang besar dari kejauhan. Lita tersenyum ramah, disusul perhatian ketiga orang lain yang beralih padanya. Adel dan Shomad lantas berhenti bermain.
"Ayo, makan," ajak Lita setelah jarak mereka lumayan dekat.
"Tapi kaki dan tangan kita kotor," tolak Shomad.
"Ke air terjun saja, yuk," ajak Natassja. "Di bawah sana ada air terjun yang airnya jernih dan agak hangat. Kita cuci tangan dan kaki di sana, lalu makan bersama,"
"Yeeee, davay! Davay!" Teriak Adel kegirangan.
Maka mereka semua bergegas pergi dari tempat tersebut.
****
Satu jam berlalu, mendekati tengah hari, mereka baru kembali ke rumah. Sedikit terlihat rasa khawatir di wajah Lita lantaran ia meninggalkan Buk Juwati sendiri di rumah, namun Kholis mengatakan bahwa ibunya itu akan baik-baik saja. Sebab Kholis sendiri sudah sering meninggalkan ibunya di rumah untuk pergi ke sawah.
Adel berjalan digandeng Shomad dan Natassja, dalam keadaan ketiganya basah kuyup sehabis bermain di sungai. Mereka bertiga tak sabar untuk segera mengganti pakaian.
Tapi tiba-tiba mereka melihat pemandangan tak biasa. Sebuah mobil van putih terparkir di depan rumah Buk Juwati. Dua pria berseragam dinas dan seorang wanita berjas putih keluar dari rumah wanita tua itu. Mereka sama-sama memakai masker. Si wanita berjas putih teburu-buru menenteng tas hitam menuju mobil. Sedangkan dua pria berbincang santai di sisi mobil.
Shomad melepaskan tangan Adel. Dengan sedikit curiga ia berjalan cepat mendatangi para pelawat aneh tersebut. Akan tetapi tidak ada ekspresi panik terpancar dari wajah mereka atas kehadiran Shomad. Justru Shomad disuguhi senyuman oleh mereka. Maka Shomad memutuskan untuk berjalan biasa saja.
"Ada apa ini, pak?" Tanya Shomad tanpa basa-basi.
"Vaksin, mas," jawab salah satu lelaki. "Kita dari Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Probolinggo,"
"Vaksin apa, pak?"
"Vaksin antraks untuk orang tua," katanya. "Masnya orang sini?" tanya lelaki itu balik.
"Bukan," bantah Shomad. "Kita pengunjung aja,"
"Jangan lupa pakai masker mas, soalnya di sini pernah ada empat orang yang kena antraks empat bulan lalu," jelas lelaki yang lain. "Spora bakteri bisa bertahan sangat lama,"
"Benarkan? Kok tidak ada beritanya? Itu kan penyakit langka yang berbahaya,"
"Iya. Memang pemerintah sengaja menutup ke media supaya tidak ada kepanikan saja. Tapi tenang saja, semuanya aman, kok. Dan kampung ini juga dalam pengawasan Dinkes Probolinggo untuk mencegah penyebaran penyakit,"
"Jadi, Buk Juwati sudah divaksin?"
"Sudah,"
Lita dan yang lain akhirnya masuk ke halaman rumah. Berbarengan dengan itu, Buk Juwati juga melangkah ke beranda sambil memegangi tengkuknya. Para lelaki berbaju dinas tadi lantas berpamitan kepada para penghuni rumah dan kembali masuk ke mobil. Mereka juga mengingatkan supaya Kholis dan para tamunya tidak pergi ke puing-puing Desa Kramatasih. Sebab ditakutkan penyakit antraks masih bisa menular lewat perabotan yang ditinggalkan mantan penghuni desa, meskipun telah berlalu dua puluh tahun.
Setelah mobil van putih berlalu, Shomad mendekati Kholis dan menatap tajam.
"Kenapa kau tidak bilang kalau di sini pernah ada penyakit antraks lagi?"
"Kalau aku bilang, kalian pasti akan langsung pergi,"
"Siapa bilang?!" Nada Shomad sedikit naik.
"Tapi kami semua sudah divaksin dan seluruh desa sudah diberi desinfektan,"
"Terserah,"

KAMU SEDANG MEMBACA
6. Otets
Misterio / SuspensoShomad telah resmi keluar dari pesantren setelah diwisuda. Dibantu Zuan, dia memindahkan barang-barangnya menuju rumah kost di sebuah perkampungan dekat kampus. Ada sebuah warung kecil di dekat rumah baru Shomad tempat dia mengisi perut, dan di situ...