Hipotesa Meragukan

29 3 6
                                        

"Jelaskan pada kami," pinta Lita.

Shomad mundur sedikit. Posisinya agak bersandar pada meja tanah liat di dekat kompor. Di sisinya, Natassja tengah menggoreng sisa ikan yang tak sempat dibakar tadi malam. Sembari memasak, ia juga ikut mendengarkan panjelasan Shomad.

Kemudian Si kecil Adel pun juga telah tiba di dapur. Ia juga rupanya sama tertarik dengan obrolan orang dewasa. Dia mencomot sebuah jagung rebus di sisi kompor, lalu duduk di lantai.

"Aku curiga pada orang-orang yang mengaku dari pemerintahan kemarin," Shomad memulai penjelasannya. "Aku melihat mobil mereka bekas terkena hujan. Jadi kupikir mereka datang dari daerah yang terkena hujan,"

"Yang jelas sepertinya bukan dari daerah Bromo, kan?" Lita menebak. "Kalau di sana hujan, sehausnya air terjun kemarin juga arusnya deras,"

"Betul. Aku melihat peta cuaca. Hasilnya daerah utara, Pasuruan dan Probolinggo terkena hujan kemarin sebelum jam sebelas siang," Shomad menunjukkan gambar tangkapan layar peta cuaca. "Dengan tingkat kebasahan di kaca mereka, ada kemungkinan mobil mereka terakhir kali kehujanan sekitar setengah jam sebelumnya. Aku melihat beberapa cipratan lumpur galian di bodi mobil, mungkin kecepatan rata-rata mereka sekitar 30-40 kilometer per jam," jelas Shomad. "Sebenarnya ada banyak faktor, tapi kucoba kemungkinan paling umum saja,"

"Dengan asumsi setengah jam perjalanan di kecepatan 30-40 kpj, mereka telah melalui jalan ini sebelumnya,"

Sekarang Shomad menunjukkan gambar lain. Ada gambar peta yang dilingkari di beberapa titik.

"Bekas lumpur galian di bodi mobil mereka jadi tanda kalau mereka mungkin melewati area perbaikan jalan," sekarang Shomad kembali melakukan seleksi sehingga dapatlah satu lokasi yang dilingkari. "Ini dia. Jalan Kemerdekaan,"

"Tapi aneh, kan, kalau mereka lewat jalan sana. Itu arah yang berlawanan dari Kantor Dinas Kesehatan Kota Probolinggo," Lita menanggapi.

"Itu sebabnya aku jadi curiga pada mereka. Di dalam mobil, aku melihat remah kayu kering di karpet. Jelas mereka baru berasal dari tempat kayu-kayu dipotong,"

"Ada beberapa pabrik pemotongan kayu di sepanjang jalan," kata Natassja. "Aku pernah beberapa kali lewat jalan itu dengan suamiku dulu,"

"Hujan memberi kita petunjuk kali ini," tambah Shomad lagi. "Perlu diingat, remah kayu yang kutemukan kemarin itu kering. Di daerah sekitar Jalan Kemerdekaan, terjadi hujan sejak kemarin pagi. Tapi ada satu titik di mana tidak terjadi hujan. Dan di sana, hanya ada satu tempat yang menggunakan kayu sebagai bahan baku utama mereka,"

"PT Nusajaya Mebel, itu kan maksud mas?" Tebak Lita tatkala melihat gambar di smartphone Shomad.

"Pabrik mebel," kata Natassja. "Itu pabrik yang sudah lama sekali beroperasi. Dulu, banyak warga desa sini yang bekerja di sana, termasuk ayah mertuaku. Tapi kemudian pabrik bangkrut, dan semua karyawan dirumahkan,"

Natassja mematikan kompor. Ikan goreng telah matang dan telah siap ditiriskan. Natassja menyiapkan piring bersih untuk wadahnya.

"Menurut informasi yang kudapat di web, sekitar satu tahun lalu kabarnya pabrik dibuka lagi," timpal Shomad. "Tapi aku tidak tahu apa yang terjadi, jadi aku meminta kakaknya Naura untuk mengecek sejarah pabrik tersebut," ujar Shomad.

"Kau bisa memeriksa tempat itu?" Pinta Shomad kepada Lita.

"Bisa, sih. Tapi bagaimana kalau Kholis dan Nenek kambuh lagi?" Tanya Natassja

"Tentu saja kalian semua yang pergi, kecuali aku," usul Shomad. "Aku akan tetap tinggal di sini sendiri untuk penyelidikan lebih lanjut,"

"Yakin?"

"Aku lebih suka menyelidiki semuanya sendirian," kata Shomad agak sombong. "Lagian, kalau Kang Kholis dan Nenek di sini bersamaku, takutnya malah kejadian semalam terjadi lagi dan kamu tidak ada,"

"Untuk lebih amannya, lebih baik kita rahasiakan hal ini dari Nenek dan Kang Kholis. Coba kalian bujuk mereka supaya mereka mau dibawa ke rumah sakit. Lita, hubungi ayahmu dan bertemulah di suatu tempat untuk memeriksa keadaan mereka berdua. Ayahmu dokter jenius, mungkin beliau bisa menemukan penyebab gejala kesurupan tadi malam,"

"Apa perlu kita lapor polisi?" Tanya Natassja.

"Jangan," cegah Shomad. "Aku sudah mengecek NIP dua orang yang kemarin via online. Ya, aku bisa mengingat nomor identitas mereka sekali melihat lanyard. Identitas mereka tidak sesuai dengan data BKN. Tapi ketika aku menelpon ke kantor Dinas Kesehatan, mereka menjawab kalau dua orang ini aktif bekerja di sana. Aku tidak tahu sebagai pegawai honorer atau bukan, tapi menurutku sebaiknya jangan buru-buru lapor polisi. Hipotesis kita masih awal dan belum ada bukti. Takutnya kita salah dan malah dituntut balik. Kalau pun kecurigaan kita benar, aku sangsi kalau mereka tidak punya orang dalam di kepolisian,"

Lita dan Natassja sama-sama diam beberapa saat tanda setuju.

"Ada satu hal lagi,"

Natassja dan Lita sama-sama memandang Shomad memberi atensi. Menunggu apa lagi yang hendak diutarakan pemuda itu.

"Soal hipotesis tadi, separuhnya bukan dariku. Itu ide orang lain,"

"Siapa?" Tanya Lita penasaran.

Shomad memberi isyarat dengan kepalanya. Dia tersenyum tipis melihat gadis kecil yang duduk santai menikmati kudapannya.

Lita dan Natassja melongos hampir tak percaya.

****

"Nggak mau! Adel mau di sini aja sama Kak Shomad," rengek Adel. Dia duduk di lantai tak mau berdiri.

Natassja, Kholis dan Buk Juwati bersiap meninggalkan rumah. Natassja sudah berada di depan memanaskan mobil. Sambil menunggu, dia menelpon sang ayah untuk bertemu. Bersiap kembali menempuh perjalanan jauh.

"Mas, gimana?" Natassja begitu cemas dengan anaknya.

"Kalau dia mau ikut denganku, nggak papa, sih. Aku bisa menjaganya," balas Shomad yakin.

"Baiklah," ujar Natassja pasrah. Adel masih juga enggan bangkit, meski telah dibujuk paman dan neneknya berkali-kali. "Tolong jaga anakku ya, mas,"

"Itu pasti. Nggak akan kutinggal, walau cuma sedetik,"

"Jhe sampe tang kompoy man dhek reman, yeh!(Jangan sampai cucuku kenapa-kenapa, ya!)" Ancam Buk Juwati. Shomad tersenyum kecut.

"Enggi, buk,"

Sebelum berangkat, Natassja memberi arahan kepada si pemuda tentang bagaimana mengurus anaknya. Panjang lebar ia jelaskan, seolah-olah dia akan pergi sampai berhari-hari. Kholis telah membuka payungnya, setelah itu menuntun Buk Juwati menuju mobil di tengah hujan deras.

Maka, ketika mereka berempat telah masuk mobil, akhirnya Adel bersedia bangun setelah tangannya ditarik Shomad. Adel melambaikan tangan pada sang bunda dengan senyum kemenangan, meski si ibu hanya mampu menatap dari kaca sedan dengan perasaan cemas. Ban mobil menggelinding pelan memecah genangan air di sudut jalan desa, kemudian semakin menjauh dan menghilang.

"Yeeeyy!!" Teriang Shomad dan Adel bersamaan.

Shomad mengangkat pinggang Adel dan memutarnya di udara, lalu menggendong Adel.

"Tvoya igra deystvitel'no khorosha (bagus banget aktingmu),"

"Papa yang ngajarin," balas Adel.

"Papa?"

Adel menepuk-nepuk dada Shomad. Shomad angguk-angguk.

"Oke, neplokho (tidak buruk). Tapi Adel penakut, kenapa pingin ikut papa?"

"Adel pingin jadi detektif seperti papa," ungkap Adel.

"Hmmmmm,"

"Papa jangan pergi, ya,"

"Tentu. Aku tidak akan membuatmu jadi yatim dua kali," Shomad memulai dark jokes nya.

"Apa itu yatim, papa?"

"Sudahlah, nanti kamu juga tahu," jawab Shomad asal sambil menggendong Adel masuk rumah.

6. OtetsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang