Chapter 9. Raja Bathara

1.8K 677 891
                                    

Oleh Tuhan, kamu dituntut untuk terus mencari jawaban
atas pertanyaan -pertanyaan; apa kesedihan paling dalam
buatmu? Apa kebahagiaan paling besar buatmu?

(Malaikat Magang —Raja)

Tujuh bulan lalu, Ajeng merasa nyawanya ditarik paksa menyaksikan Putri  satu-satunya  ditemukan  di  paving  taman  dengan  kepala bersimbah darah. Meski pertengkaran demi pertengkaran dengan Naya sudah seperti jadwal minum obat, nyatanya, seorang ibu tetaplah orang terdekat. Di dalam tubuhnya pernah berbagi nyawa.

“Panggil ambulans sekarang!” teriak Ajeng di sisi tubuh kaku Naya kepada semua pembantu di rumahnya. Matanya merah menatap Tan yang bersimpuh di sebelah tubuh anaknya. “Kenapa bisa gini, Tan? Bukannya kamu tadi ke kamar Naya?”

“Naya lon-cat. Naya loncat,” ucap Tan menangis.

“Ya, Tuhan ....” Ajeng sama kacaunya dengan Tan. Dia merasa bersalah. Sebagai ibunya harusnya dia yang tahu Naya kenapa sampai nekat loncat dari loteng.

Pekak sirene akhirnya merobek tengah malam sunyi kediaman Ajeng. Ambulans datang lebih cepat dari dugaan. Tandu dari dalam ambulans di parkiran dikeluarkan menuju taman. Tiga petugas rumah sakit sudah siap dengan pertolongan pertama.

“Benar ini rumah  Kakek  Saka?” tanya salah seorang petugas. Sedangkan dua petugas lain sedang memeriksa dan siap mengangkat tubuh Naya.

“Benar,” jawab Ajeng mencoba tegar.

“Kami ditelepon Pak Tara dari Kedai Bang Jago langganan Kakek Saka. Pesannya darurat, ada kecelakaan di paving taman rumah ini.”

“Tara?” tanya Ajeng bingung, mencoba berpikir jernih.

“Ibu  setuju,  pasien  langsung  diproses  di  rumah  sakit  sesuai panggilan?” tanya petugas.

Tidak ada waktu untuk Ajeng berpikir lagi. Meskipun Naya tidak masuk ke rumah sakit langganan keluarga, tapi ini genting. Naya harus segera mendapatkan pertolongan.

“Lakukan yang terbaik buat putri saya,” ucap Ajeng tegas. Darah biru dari keluarganya di Solo membentuk karakternya seperti seorang ratu.

“Pendarahan luarnya tidak terlalu parah karena balutan kuat kain ini,” lapor perawat yang memeriksa luka Naya di kepalanya. “Rembesan darahnya bahkan sudah mengental dan menghitam.”

Ajeng mengamati kain putih itu. Benar, darah di permukaannya telah menghitam. Di antara rembesan darah Naya ada logo Bang Jago dengan huruf A diganti dengan gambar kepala ayam bersayap malaikat.

Tubuh  Naya  pun  diangkat  dengan  tandu  menuju  ambulans. Petugas rumah sakit berjalan serempak menuju parkiran. Tan dan Ajeng mengikutinya dari belakang. Sesampainya di parkiran depan rumah, Kakek Saka keluar dari pintu dan tergopoh-gopoh menuju ke arah Ajeng.

“Non Naya, kenapa?” tanya Kek Saka khawatir.

Setelah dia menandaskan ayam goreng mentega dari Kedai Bang Jago, dia tertidur. Namun, sirene ambulans mengagetkannya. Terpaksa dia bangun dan berjalan pelan ke arah sumber suara.

“Mbah di rumah aja, ya. Naya kecelakaan,” jawab Ajeng buru-buru.

Akan tetapi, tangan keriput Kakek menahannya.

“Itu,”  ucap  Kakek  menunjuk  kaus  putih  penuh  darah  yang membalut kepala Naya. “Kaus yang dipakai pengirim Kedai Ayam Bang Jago tadi. Kupikir dia sudah pulang.”

FACTORY RESET (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang